138
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(2) – Juni 2013 : 138-144 (ISSN : 2303-2162)
Struktur Histologis Insang dan Kadar Hemoglobin Ikan Asang (Osteochilus
hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat
Histological structure of gill and haemoglobin concentration of silver
sharkminnow (Osteochilus hassletii C.V.) in Singkarak and Maninjau Lakes, West
Sumatra
Hari Marta Saputra1)*, Netti Marusin1) dan Putra Santoso2)
1)
Laboratorium Struktur Perkembangan Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Kampus
UNAND Limau Manis Padang-25163.
2)
Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau
Manis Padang-25163.
*)
Koresponden : hmartas002@gmail.com
Abstract
A study on histological structure of gill and hemoglobin concentration of Silver Sharkminnow
(Osteochilus hassletii C.V) in Singkarak and Maninjau Lakes, West Sumatera has been
conducted from December 2012 to March 2013. This study aimed to determine the damage of
histological structure of gill and haemoglobin concentration of O. hasseltii. We prepared slide
preparation of gills to observe their damage structure, while hemoglobin concentration was
counted/measured using Sahli method. The results showed various types of damage such as
edema, loss of the epithelium on the secondary lamella, hyperplasia, fusion of secondary
lamella, the loss of the secondary lamella structure, clubbing and thickening of elastic cartilage.
Hemoglobin concentration of O. hasseltii ware 3.28% and 3.05 % for Singkarak and Maninjau
respectively. There was no statistically significant difference between sampling sites for both of
studied parameters.
Keywords:
Ostechilius hasseltii,
Maninjau lakes
gill
Pendahuluan
Ikan
Asang
(Osteochilus
hasseltii)
merupakan salah satu jenis ikan air tawar
yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.
Ikan tersebut tersebar di pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Di
Sumatera, ikan Asang dapat ditemui di
berbagai sungai dan danau (Kottelat et al.,
1993). Danau-danau yang menjadi habitat
spesies tersebut di Sumatera Barat
diantaranya adalah danau Singkarak dan
Maninjau.
Danau Singkarak dan Danau
Maninjau memiliki beberapa perbedaan
mendasar secara geologi dan ekologi.
Danau Singkarak merupakan danau
tektonik (Syandri, 1996) sedangkan Danau
Maninjau merupakan danau kaldera (KLH,
histology,
hemoglobin,
Singkarak
and
2011). Temperatur air di Singkarak berkisar
antara 25oC – 27oC sedangkan di Maninjau
berkisar antara 28,13oC–28,47oC. Derajat
keasaman di Singkarak sekitar 7,5-7,9
sedangkan di Maninjau sekitar 7,32 - 7,46,
BOD di Singkarak sebesar 12,56 mg/L
sedangkan di Maninjau sebesar 2,89 mg/L
- 6,42 mg/L. Aktivitas perikanan dengan
sistem keramba jala apung (KJA) di
Singkarak
masih
tergolong
sedikit
dibandingkan dengan Maninjau yang secara
kuantitatif telah melampaui daya dukung
lingkungan (KLH, 2011; Syandri, 2008;
Sulawesty et. al, 2001).
Perbedaan-perbedaan
yang
mendasar dari aspek geologis dan ekologis
antara Danau Singkarak dan Danau
Maninjau
diduga
kuat
memiliki
konsekuensi terhadap spesies ikan Asang
139
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(2) – Juni 2013 : 138-144 (ISSN : 2303-2162)
yang hidup di dalamnya. Hal tersebut dapat
terjadi karena ikan Asang termasuk salah
satu spesies Cyprinidae yang sensitif
terhadap perubahan-perubahan kondisi
lingkungan (Moyle and Cech, 2004).
Sensitivitas ikan ini terkait dengan
kebutuhan fisiologis dasarnya yang tinggi
terhadap suplai oksigen yang langsung
diserap melalui insang dan diedarkan
melalui hemoglobin dalam darah (SchnidtNielsen, 1997).
Insang ikan merupakan organ
respirasi utama yang bekerja dengan
mekanisme difusi permukaan dari gas-gas
respirasi (oksigen dan karbondioksida)
antara darah dan air. Oksigen yang terlarut
dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapilerkapiler insang dan difiksasi oleh
hemoglobin
untuk
selanjutnya
didistribusikan
ke
seluruh
tubuh.
Sedangkan karbondioksida dikeluarkan dari
sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di
sekitar insang (Brown, 1962; Rastogi,
2007). Oleh sebab itu, apapun perubahanperubahan yang terjadi di lingkungan
perairan akan secara langsung dan tidak
langsung berdampak kepada struktur dan
fungsi insang serta hemoglobinnya.
Penelitian-penelitian
tentang
struktur dan fungsi insang serta kadar
hemoglobin pada ikan sehubungan dengan
analisis kualitas perairan sudah banyak
dilakukan. Suparjo (2010) melaporkan
adanya kerusakan insang ikan Nila
(Oreochromis niloticus L.) yang disebabkan
oleh limbah deterjen. Camargo and Claudia
(2007) juga menemukan adanya kerusakan
struktur histologi insang Prochilodus
lineatus akibat pencemaran air. Laporan
Erlangga (2007) menyatakan bahwa
pencemaran logam berat di sungai Kampar
Riau telah meyebabkan perubahan struktur
histologi insang ikan Baung (Hemibagrus
nemurus). Tilak et al. (2007) melaporkan
adanya perubahan kadar hemoglobin pada
Common carp, Silver carp dan Gross carp
akibat adanya paparan terhadap amoniak,
nitrit dan nitrat di dalam perairan. Misaila et
al. (2007) juga menemukan bahwa kadar
hemoglobin ikan dari famili Cyprinidae
mengalami perubahan secara signifikan
pada pergantian musim karena adanya
perubahan faktor fisika kimia air.
Berdasarkan hal diatas dapat
diketahui bahwa perubahan-perubahan
kondisi lingkungan perairan baik sungai
maupun danau memiliki hubungan yang
erat dengan kondisi struktur fungsi insang
dan hemoglobin dalam darah ikan. Oleh
sebab itu, kajian mengenai kedua aspek
tersebut sangat penting untuk dilakukan
dalam rangka mengidentifikasi perubahanperubahan yang mungkin dialami oleh
spesies ikan Asang yang hidup di Danau
Singkarak dan Maninjau. Tujuan penelitian
ini adalah menganalisis struktur histologis
insang dan kadar hemoglobin ikan Asang
yang hidup di Danau Singkarak dan
Maninjau dan mengidentifikasi ada atau
tidaknya perbedaan signifikan struktur
histologis insang dan kadar hemoglobin
ikan Asang antara kedua danau.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode
survei dengan sampel dikoleksi langsung di
lapangan mengunakan metode purposive
sampling. Observasi terhadap kondisi
histologi
insang
dilakukan
secara
mikroskopis dengan mengamati preparat
jaringan insang. Preparat histologi insang
dibuat dengan metode parafin dan
pewarnaan Haematoxylin-Eosin (Suntoro,
1983). Pengukuran kadar hemoglobin ikan
asang (O. hasseltii) menggunakan metode
Sahli (Alifuddin, 1993).
Hasil dan Pembahasan
Histologi Insang O. hasseltii di Danau
Singkarak dan Maninjau
Histologi insang O. hasseltii di danau
Singkarak dan Maninjau dapat dilihat pada
gambar satu dan dua. Perubahan histologi
yang umum dialami oleh Asang di
Singkarak dan Maninjau adalah (1) edema
(pembengkakan sel) , (2) hiperplasia , (3)
epitel lepas dari jaringan di bawahnya, (4)
fusi (peleburan) lamela sekunder akibat
hiperplasia epitelium insang dan (5)
hilangnya struktur lamela sekunder.
Kerusakan lain yang ditemukan adalah (6)
‘clubbing’ (jaringan berbentuk seperti
pemukul bisbol) dan (7) penebalan tulang
rawan elastis. Kondisi kerusakan histologi
140
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(2) – Juni 2013 : 138-144 (ISSN : 2303-2162)
insang di kedua danau tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Dalam arti lain,
kerusakan histologi insang ikan Asang di
Danau Singkarak dan Maninjau termasuk
ketingkat kerusakan terparah berdasarkan
pola pembagian tingkat kerusakan histologi
insang oleh Tanjung (1982).
Lapisan epitel insang yang tipis dan
berhubungan langsung dengan lingkungan
luar menyebabkan insang berpeluang besar
terpapar oleh bahan pencemar yang ada di
perairan. Kerusakan sekecil apapun dapat
menyebabkan terganggunya fungsi insang
sebagai pengatur osmose dan kesulitan
bernafas. Pembendungan aliran darah
(disebabkan trauma fisik, zat pencemar
ataupun gangguan sistem sirkulasi) pada
lamela
akan
menyebabkan
edema
(pembengkakan sel) di sekitar pembuluh
darah yang terlihat dari perluasan jaringan
antara pembuluh darah dengan lapisan
epitel lamela primer. Hoole et al. (2001)
menyatakan bahwa pembendungan dan
edema akan mengurangi efisiensi difusi gas
dan dapat berakibat fatal seperti kematian.
Difusi gas terganggu karena luas
permukaan serap pada lamela sekunder
insang menyempit.
Edema sering terjadi akibat
pemaparan polutan-polutan yang berasal
dari bahan kimia, seperti logam-logam berat
(Ploeksic, et al. 2010), metaloid, pestisida,
dan penggunaan bahan-bahan terapeutik
(formalin dan H2O2) yang berlebihan (Ersa,
2008). Edema, fusi lamela dan hiperplasia
pada insang ikan dapat disebabkan oleh
panas dan polusi (asam, amonia, logam
berat, dan pestisida) yang menyebakan
berubahnya struktur sel klorid. Edema akan
diikuti oleh lepasnya epitel dari lamela
sekunder yang dapat menyebabkan
terganggunya
fungsi
epitel
sebagai
penangkap gas terlarut.
Menurut Robert (2001), hiperplasia
terjadi disertai dengan peningkatan jumlah
sel-sel mukus di dasar lamela dan
mengakibatkan
fusi
lamela.
Ruang
interlamela yang merupakan saluran air dan
ruang produksi mukus dapat tersumbat
akibat hiperplasia sel epitel yang berasal
dari filamen primer. Pada akhirnya, seluruh
ruang intralamela diisi oleh sel-sel yang
baru. Hiperplasia dapat mengakibatkan
penebalan jaringan epitel di ujung filamen
yang memperlihatkan bentuk seperti bisbol
(“clubbing distal”) atau penebalan jaringan
yang yang terletak di dekat dasar lamela
(basal hiperplasia) (Ersa, 2008).
Hiperplasia dapat terjadi akibat
berbagai polutan kimia dan logam berat
terutama Cadmium (Cd), Cuprum (Cu) dan
Zinc (Zn). Ikan yang terpapar logam berat,
deterjen
pestisida
dan
nitrofenol
memperlihatkan pemisahan antara sel
epitelium dan sistem yang mendasari sel
tiang yang dapat mengarah pada keruntuhan
dari struktur lamela sekunder dan dapat
menyebabkan peningkatan jumlah sel-sel
klorid (Olurin et al., 2006; Suparjo, 2010).
Menurut Ersa, (2008) penyebab lain
hiperplasia insang, penebalan lamela dan
fusi adalah defisiensi nutrisi.
Fusi lamela akibat hiperplasia dapat
mengurangi efisiensi difusi gas (Hoole et
al., 2001). Robert (2001), menyatakan
bahwa pembengkakan
pada lamela
sekunder dapat dihubungkan dengan edema
lamela, hipertropi sel epitel (bertambahnya
ukuran atau volume suatu bagian tubuh
karena peningkatan ukuran dari sel-sel
individu), dan perubahan pada dasar
arsitektur sel tiang.
Menurut Tanjung (1982) tingkat
kerusakan pada insang yang berhubungan
dengan toksisitas, yaitu sebagai berikut
tingkat I, terjadi edema pada lamela dan
terlepasnya sel-sel epitelium dari jaringan
dibawahnya; tingkat II, terjadi hiperplasia
pada basal proximal lamela sekunder;
tingkat III, hiperplasia menyebabkan
bersatunya dua lamela sekunder; tingkat IV,
hampir seluruh lamela sekunder mengalami
hiperplasia; dan tingkat V, hilangnya
struktur lamela sekunder dan rusaknya
filamen. Dengan mengamati kerusakankerusakan histologi insang ikan Asang
dikedua danau dapat disimpulkan bahwa
tingkat kerusakan insangnya sudah
termasuk kerusakan tingkat kelima. Hal
sesuai dengan pernyataan Tanjung (1982)
bahwa kerusakan histologi insang seperti
hilangnya struktur lamela sekunder dan
rusaknya filamen termasuk kerusakan
kelima (Tanjung, 1982).
141
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(2) – Juni 2013 : 138-144 (ISSN : 2303-2162)
A
B
6
1
5
5
4
2
1
3
7
2
6
4
3
7
Gambar 1. Histologi Insang O. hasseltii di A). Danau Singkarak dan B). Danau Maninjau
dimana (1) edema, (2) hiperplasia , (3) epitel lepas dari jaringan di bawahnya, (4)
fusi (peleburan) lamela sekunder akibat hiperplasia epitelium insang, (5)
hilangnya struktur lamela sekunder, (6) ‘clubbing’ (jaringan berbentuk seperti
pemukul bisbol) dan (7) penebalan tulang rawan elastis.
A
C
B
D
E
Gambar 2. Histologi Insang O. hasseltii dengan Berbagai Jenis Kerusakan di Danau
Singkarak dan Maninjau dimana A). edema, B). Epitel lepas dari jaringannya, C).
Hiperplasia, D). Fusi lamella sekunder dan E). Hilangnya struktur lamella
sekunder.
142
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(2) – Juni 2013 : 138-144 (ISSN : 2303-2162)
Tabel 1. Kadar Hemoglobin O. hasseltii Pada Beberapa Lokasi di Singkarak dan Maninjau
No
Danau
1
Singkarak
2
Maninjau
Titik Pengambilan
Sampel
Sumani
Paninggahan
Sumpur
Ombilin
Tanjung Sani
Pencemaran perairan di Danau
Singkarak dan Maninjau diduga disebabkan
oleh kegiatan domestik, perhotelan,
keramba jala apung (KJA), pertanian,
peternakan, dan pasar serta aktivitas lain di
sekitar danau. Pencemaran perairan di
Danau Singkarak dan Maninjau juga
berdampak terhadap kadar hemoglobin
darah ikan Asang yang rendah.
Kadar Hemoglobin O. hasseltii di Danau
Singkarak dan Maninjau
Hasil
pengamatan
(Tabel
1)
memperlihatkan bahwa rata-rata kadar
hemoglobin
ikan Asang di Danau
Singkarak adalah sebesar 3,28 g% dan di
Maninjau sebesar 3,05 g%. Kadar
hemoglobin selaras dengan jumlah eritrosit,
semakin tinggi kadar hemoglobin semakin
tinggi pula jumlah eritrosit (Heath, 1987).
Kadar hemoglobin berhubungan
erat dengan kondisi histopatologi insang.
Tingkat kerusakan histologi yang tinggi
akan menurunkan kadar hemoglobin ikan
Asang. Kerusakan insang seperti edema,
hiperplasia dan fusi lamela sekunder
menyebabkan
berkurangnya
efisiensi
insang dalam menyerap oksigen dalam
perairan. Jumlah molekul oksigen yang
sedikit dalam perairan ditambah dengan
penyerapan oksigen yang rendah oleh
insang akan membuat proses metabolisme
ikan terganggu. Dengan demikian, ikan
tidak mampu mensintesis senyawa-senyawa
atau zat-zat yang dibutuhkan termasuk
sintesis eritrosit normal. Walaupun sistesis
eritrosit masih berjalan, akan tetapi eritrosit
yang dihasilkan menjadi abnormal atau
prematur yang berakibat pada penurunan
kemampuan eritrosit untuk memfiksasi
oksigen menjadi rendah.
Kadar Hemoglobin
(g %)
2,61
3,24
3,46
3,80
3,05
Rata-Rata Kadar
Hemoglobin
(g %)
3,28
3,05
Menurut Vinodhini, (2009) dan
Ersa (2008) rendahnya kadar hemoglobin
ikan disebabkan oleh beberapa faktor
seperti pencemaran logam berat dan
kurangnya nutrisi.
Hasil
pengukuran
kadar
hemoglobin di Danau Singkarak dan
Maninjau tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan. Jika dibandingan dengan
kadar hemoglobin pada cyprinid lainnya,
hasil
penelitian
pengukuran
kadar
hemoglobin ikan Asang di danau Singkarak
dan Maninjau memperlihatkan bahwa kadar
hemoglobin Asang dikedua danau lebih
rendah. Maswan (2009) melaporkan bahwa
kadar hemoglobin ikan Mas (Cyprinus
carpio) adalah 8,9 – 9,3 g%. Kuswardani
(2006) mendapatkan kadar hemoglobin ikan
Nila (Oreochromis niloticus) berkisar 10 –
11,01 g%; ikan mas Koki (Carrasius
auratus) 5,73 – 5,77 g%. Sedangkan
menurut Nabib dan Pasaribu (1989)
hemoglobin ikan telestoi berkisar antara 8 –
9 g%.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian
diatas,
dapat
disimpulkan bahwa:
1. Kerusakan histologi insang yang dialami
oleh ikan Asang di Danau Singkarak dan
Maninjau termasuk kerusakan kategori
tertinggi yang meliputi edema, epitel
lepas dari jaringan di bawahnya,
hiperplasia, fusi lamela sekunder,
hilangnya struktur lamela sekunder,
clubbing dan penebalan tulang rawan
elastis.
2. Rata-rata kadar hemoglobin ikan Asang
di Danau Singkarak adalah 3.28 g% dan
di Danau Maninjau adalah 3.05 g %.
143
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(2) – Juni 2013 : 138-144 (ISSN : 2303-2162)
3. Tidak
ada
perbedaan
signifikan
kerusakan insang dan kadar hemoglobin
ikan Asang di Danau Singkarak dan
Maninjau.
Ucapan Terimakasih
Terima kasih kepada Dr. Dewi Imelda
Roesma, Dr. Efrizal dan Dr. Djong Hon
Tjong atas masukan dan saran yang
diberikan dalam penelitian dan penulisan
artikel ini.
Daftar Pustaka
Alifuddin M. 1993. Diagnose Penyakit Ikan
(Cara Pemeriksaan Penyakit Ikan).
Fakultas
Perikanan
Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Brown, M. E. 1962. The Physiology of
Fishes. Academy Press. Inc. New
York.
Camargo, M. M. P., and B. R. M. Claudia.
2007. Histopathology of Gills,
Kidney and Liver of a Neotropical
Fish Caged in an Urban Stream.
Neotropical Ichthyology 5(3): 327336.
Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan
Sungai Kampar di Provinsi Riau
Terhadap Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus). [Tesis]. Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Ersa, I. M. 2008. Gambaran Histopatologi
Insang, Usus dan Otot pada Ikan
Mujair
(Oreochromis
mossambicus) di Daerah Cimpea,
Bogor. [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Heath, A. G. 1987. Water Pollution and
Fish Physiology. CRC Press, Inc.
Florida
Hoole, D., D. Bucke, P. Burgess and I.
Wellby. 2001. Diseases of Carp
and Other Cyprinid Fishes.
Blackwell Science Ltd, United
Kingdom.
Kementerian Lingkungan Hidup [KLH].
2011. Profil 15 Danau Prioritas
Nasional 2010 -2014. Kementrian
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Kottelat M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari
dan
S.
Wirdjoadmodjo.1993.
Freshwater fishes of Western
Indonesia and Sulawesi. Periplus.
Jakarta.
Kuswardani, Y. 2006. Pengaruh Pemberian
Resin Lebah Terhadap Gambaran
Darah Maskoki (Carassius auratus)
yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas
hydrophila.
[Skripsi].
Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Maswan, N. A. 2009. Pengujian Efektivitas
Dosis Vaksin DNA dan Korelasinya
Terhadap Parameter Hematologi
Secara
Kuantitatif.
[Skripsi].
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Misăilă, C., R. M. Elena dan D. Gabriela.
2007. Influence of Thermal and
Parasitary
Stress
on
the
Erythtrocytary Hemoglobin (Index
M) in Some Culture Cyprinids.
Lucrări Ştiinţifice - 55, Seria
Zootehnie: 301-306.
Moyle, P. B. and J. J. Jr. Cech. 2004.
Fishes,
an
Introduction
to
Ichtiology. 5th ed Prentice Hall.
Upper Saddle River. New Jersey.
Nabib, R. dan F. H. Pasaribu. 1989.
Patologi dan Penyakit Ikan. Pusat
Antar Universitas Bioteknologi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Olurin K. B., E. A. A. Olojo, G. O. Mbaka
and A. T. Akindele. 2006.
Histopathological Responses of the
Gill and Liver Tissues of Clarias
gariepinus Fingerlings to the
Herbicide, Glyphosate. African
Journal of Biotechnology 5 (24):
2480-2487.
Ploeksic, V., S. R. Božidar, B. S. Marko
dan Z. M. Zoran. Liver, Gill, and
Skin Histopathology and Heavy
Metal Content of The Danube
Sterlet (Acipenser ruthenus L.
1758). Enviromental Toxicology
and Chemistry, 29 (3): 515-521.
Rastogi, S. C. 2007. Essentials of Animal
Physiology 4th Ed. New Age
International (P) Ltd. New Delhi.
Robert R. J. 2001. Fish Pathology 3rd Ed.
W.B. Saunders. London.
Schnidt-Nielsen,
K.
1997.
Animal
Physiology:
Adaptation
and
144
Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.)
2(2) – Juni 2013 : 138-144 (ISSN : 2303-2162)
Enviromental. 5th Ed. Cambridge
University Press. London.
Sulawesty, F., S. Sunanisari, E. Mulyana,
M. S. Syawal, S. Nomosatryo dan
F. Hasan. 2001. Evaluasi Kondisi
Danau Singkarak. Pusat Penelitian
dan Limnologi-LIPI: 95-108
Suntoro. 1983. Metode pewarnaan histologi
dan histokimia. Bhatara Karya
Aksara. Jakarta.
Suparjo, M. N. 2010. Kerusakan Jaringan
Insang Ikan Nila (Oreochromis
niloticus L.) Akibat Deterjen.
Jurusan Saintek Perikanan 5 (2): 17.
Syandri H. 1996. Aspek reproduksi ikan
bilih (Mystacoleuseus padangensis
Bleeker)
dan
Kemungkinan
Pembenihannya
di
Danau
Singkarak.
[Tesis].
Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Syandri H. 2008. Ancaman Terhadap
Plasma
Nutfah
Ikan
Bilih
(Mystacoleuseus
padangensis
Blkr.) dan Upaya Pelestariannya di
Danau
Singkarak.
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Bung Hatta. Padang.
Tanjung, S. 1982. The Toxicity of
Alumunium
for
Organs
of
Salvalinus Fontanalis Mitchill In
Acid Water . Jakarta.
Tilak, K. S., K. Veeraiah and J. M. P. Raju.
2007. Effects of Ammonia, Nitrite
and Nitrate on Hemoglobin Content
and Oxygen Consumption of
Freshwater Fish, Cyprinus carpio
(Linnaeus).
Journal
of
Environmental Biology. 28(1): 4547.
Vinodhini, R., and M. Narayanan. 2009.
The Impact of Toxic Heavy Metal
on Hematological Parameters in
Common Carp (Cyprinus carpio
L.). Iran. J. Environ. Health. Sci.
Eng. 6 (1): 23-28.