RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL MODEL BIAK NUMFOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL MODEL BIAK NUMFOR"

Transkripsi

1 PEMERINTAH KABUPATEN BIAK NUMFOR KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) MODEL BIAK NUMFOR Jalan Yafdas - Biak Telp/Fax. (0981) 26043, Kode Pos RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL MODEL BIAK NUMFOR DI KABUPATEN BIAK NUMFOR PROVINSI PAPUA DISUSUN OLEH : KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL BIAK NUMFOR BIAK, OKTOBER 2014

2 BUKU RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL MODEL BIAK NUMFOR Digandakan dan dijilid oleh : Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV Tahun 2015

3 HALAMAN JUDUL RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL MODEL BIAK NUMFOR DI KABUPATEN BIAK NUMFOR PROVINSI PAPUA Merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : SK. 6544/Menhut-II/Reg.4-1/2014 Tanggal : 28 Oktober 2014

4 KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL BIAK NUMFOR RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG PERIODE KABUPATEN BIAK NUMFOR PROVINSI PAPUA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL BIAK NUMFOR 2014

5 RINGKASAN EKSEKUTIF Rencana Pengelolaan Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Biak Numfor adalah panduan yang memuat tujuan, kegiatan dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Biak Numfor. Tujuan penyusunan rencana pengelolan adalah sebagai acuan pengelolaan jangka panjang agar pelaksanaan pengelolaan KPHL lebih efektif dan efisien guna mewujudkan kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Rencana pengelolaan ini merupakan hasil analisa dan proyeksi terhadap kondisi ekologi lingkungan dan sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, yang dilakukan semua pemangku kepentingan dalam kawasan (stakeholders), sehingga tersusun RPH yang bersifat komprehensif, holistik dan integratif dengan pembangunan daerah guna mendukung pengelolaan berkelanjutan. Visi pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Biak Numfor Terwujudnya Pengelolaan Hutan Lestari bagi Peningkatan Ekonomi yang Mandiri di Tahun 2024 Demi mewujudkan visi pengelolaan tersebut misi pengelolaan yang akan ditempuh adalah : Pembangunan sistem dan mekanisme kelembagaan KPHL yang profesional, efektif dan efisien dalam pengelolaan sumberdaya hutan; Memantapkan penataan fungsi kawasan KPHL Biak Numfor dan areal kelola masyarakat adat; Meningkatkan produktifitas hutan; Merasionalisasi pemanfaatan hutan sesuai potensi dan fungsi kawasan; Meningkatkan kesempatan dan kemampuan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan;perlindungan dan konservasi ekosistem kawasan KPHL Biak Numfor. Kondisi umum yang diingkan di kawasan KPHL Biak Numfor adalah : 1. Kapasitas kelembagaan; Kapasitas kelembagaan kawasan KPHL yang mantap adalah faktor yang paling dominan dalam pengelolaan yang optimal; iii

6 2. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dikelola secara optimal, sehingga jenis dan kelimpahannya dapat dipertahankan; 3. Terwujudnya kesadaran masyarakat berupa peran dan partisipanya dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA di KPHL termasuk di dalamnya peningkatan kesejahteraan masyarakat; 4. Terwujudunya sinergitas/harmonisasi pengelolaan kolaborasi KPHL dengan melibatkan para pihak/stakeholders yang berkepentingan; 5. Kawasan KPHL yang memiliki daya saing tinggi sebagai pengembangan ekowisata, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengacu pada hasil analisis SWOT, faktor-faktor kunci keberhasilan (critical success factors) sebagai faktor penentu adalah sebagai berikut : a. Kapasitas kelembagaan KPHL Model Biak Numfor b. Potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya c. Regulasi yang berpihak pada masyarakat adat d. Sarana prasarana KPHL Model Biak Numfor yang memadai e. Dukungan pemerintah dan para pihak Berdasarkan visi dan misi yang telah ditetapkan, serta kondisi yang diinginkan, maka KPHL Model Biak Numfor bersama para pihak terkait dalam pengelolaan kawasan merencanakan beberapa kegiatan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang ( ). Rencana kegiatan tersebut antara lain : 1. Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola dan Penataan Hutan 2. Pemanfaatan Wilayah Tertentu 3. Pemberdayaan Masyarakat 4. Pembinaan, Pemantauan, Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan pada areal yang berizin 5. Rehabilitasi pada areal kerja diluar izin 6. Pembinaan, pemantauan, rehabilitasi dan reklamasi didalam areal yang berizin 7. Rencana penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam 8. Rencana penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang izin 9. Koordinasi dan sinergi dengan instansi dan stakeholder terkait iv

7 10. Penyediaan dan peningkatan SDM 11. Penyediaan pendanaan 12. Pengembangan data base 13. Rasionalisasi wilayah kelola 14. Review rencana pengelolaan 15. Pengembangan investasi 16. Kelas perusahaan Dalam rangka menuju pengelolaan KPHL Biak Numfor yang berkelanjutan diperlukan suatu pembinaan, pengendalian, pengawasan dan pelaporan terhadap pengelolaan kawasan. Tujuan dari dilaksanakannya pembinaan, pengendalian, pengawasan dan pelaporan adalah agar sistem pengelolaan yang dilakukan dapat terarah dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan rencana pengelolaan yang telah ditetapkan. Kegiatan tersebut dilakukan secara periodik oleh KPHL Biak Numfor bersama staf kemudian pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan. Kemudian untuk ketertiban, pada setiap pelaksanaan kegiatan pengelolaan KPHL Biak Numfor didokumentasikan dalam bentuk laporan yang penyusunan dan penyampaiannya disesuaikan ada yang insidental dan ada yang berkala. v

8 KATA PENGANTAR Puji Syukur kami Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas selesainya penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Biak Numfor periode Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Biak Numfor ini disusun berdasarkan pada Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-WP3H/2012 tentang Petunjuk Teknis Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL Model Biak Numfor ini memuat bagian-bagian pendahuluan, deskripsi kawasan, visi dan misi pengelolaan hutan, analisis dan proyeksi, rencana kegiatan, pembinaan pengawasan dan pengendalian, pemantauan evaluasi dan pelaporan serta penutup. Penyusunan dokumen ini sebagai acuan pengelolaan jangka panjang agar pelaksanaan pengelolaan KPHL lebih efektif dan efisien guna mewujudkan kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Terselesainya dokumen rencana pengelolaan ini tidak terlepas dari peran dan kerja keras berbagi pihak, oleh sebab itu disampaikan penghargaan setinggitingginya kepada semua pihak baik Menteri Kehutanan melalui Dirjen Planologi, Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Biak Numfor, Pemerintah Kabupaten Biak Numfor, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga akademisi Kehutanan, Lembaga Adat dan masyarakat adat yang berada di dalam dan di luar kawasan yang telah berkontribusi. vi

9 Besar harapan kami dokumen ini dapat memberikan sumbangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan di Provinsi Papua khususnya di Kabupaten Biak Numfor. Biak, Oktober 2014 Kepala KPHL Model Biak Numfor Aries Toteles AP, SH.,S.Hut vii

10 DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Lembar Pengesahan... ii Ringkasan Eksekutif... iii Kata Pengantar... vi Daftar Isi... viii Daftar Tabel... x Daftar Gambar... xii BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Maksud dan Tujuan Pengelolaan Sasaran Dasar Hukum Ruang Lingkup Batasan Pengertian... 5 BAB II DESKRIPSI KAWASAN 2.1.Risalah Wilayah KPHL Biak Numfor Letak dan Luas Wilayah KPHL Sejarah Pembentukan KPHL Model Biak Numfor Pembagian Blok KPHL Potensi Wilayah KPHL Tutupan Lahan Topografi Geologi Jenis Tanah Iklim Tata Guna Lahan Tipe Hutan dan Potensi Flora-Fauna Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Demografi (Kependudukan) Angka Ketergantungan Penduduk (AKP) Sosial Budaya Tipologi Masyarakat Sekitar Hutan di Kabupaten Biak Numfor Hak Kepemilikan dan Pola Pemanfaatan Hutan Izin Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan Posisi KPHL Biak Numfor dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah Kabupaten Biak Numfor dan Pembangunan Daerah Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan Faktor Internal Faktor Eksternal BAB III VISI DAN MISI PENGELOLAAN HUTAN 3.1.Nilai Strategis Pembangunan KPHL Biak Numfor Visi, Misi dan Tujuan Capaian-capaian Utama yang Diharapkan viii

11 Halaman BAB VI ANALISIS DAN PROYEKSI 4.1.Analisis Data dan Informasi Analisis Ekologi Analisis Sosial Ekonomi dan Budaya Analisis Kelembagaan Strategi dan Rencana BAB V RENCANA KEGIATAN 5.1.Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola dan Penataan Hutan Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola Penataan Hutan Pemanfaatan Wilayah Tertentu Pemberdayaan Masyarakat Pembinaan, Pemantauan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pada Areal yang Berizin Rehabilitasi Pada Areal Kerja di Luar Izin Pembinaan dan Pemantauan Rehabilitasi dan Restorasi di dalam Areal yang Berizin Rencana Penyelengaraan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Rencana Penyelenggaraan Koordinasi dan Sinkronisasi antar Pemegang Izin Koordinasi dengan Instansi dan Stakeholder Terkait Penyediaan dan Peningkatan Kapasitas SDM Penyediaan Pendanaan Pengembangan Data Base Rasionalisasi Wilayah Kelola Review Rencana Pengelolaan Pengembangan Investasi Kelas Perusahaan BAB VI PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN 6.1.Pembinaan Pengawasan Pengendalian BAB VII PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN 7.1.Pemantauan Evaluasi Pelaporan BAB VIII PENUTUP 8.1.Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.Komposisi Fungsi Kawasan Hutan di Wilayah KPHL Biak Numfor Tabel 2.Pembagian Blok pada KPHL Biak Numfor Tabel 3.Pembagian Wilayah KPHL Biak Numfor Berdasarkan RPH Tabel 4.Tutupan Lahan pada Wilayah KPHL Biak Numfor Tahun Tabel 5.SebaranTopografi KPHL Biak Numfor Tabel 6.Formasi Geologi di KPHL Biak Numfor Tabel 7.Jenis Tanah dan Pesebarannya Tabel 8.Rata-rata Tekanan Udara di Biak Numfor Tahun Tabel 9.Tata Guna Lahan KPHL Biak Numfor Tabel 10.Jenis-jenis Kayu Komersil di Wilayah Hutan KPHL Biak Numfor Tabel 11.Pohon Komersil dan bukan komersil pada Hutan Produksi RPH Dasandoi Tabel Jenis pohon besar (diameter > 35) dan pohon kecil (diameter 20-34) dominan HPT Makmakerbo dan HPT Sawadori Tabel 13.Jenis Unggas Pulau Numfor dan Status Konservasinya Tabel 14.Jenis Herpeto Fauna yang dijumpai di Pulau Numfor Tabel 15.Jenis-Jenis Mamalia dilindungi di Pulau Numfor Tabel 16.Obyek Wisata di Kabupaten Biak Numfor Berdasarkan RPH Tabel 17.Luas Wilayah tiap Distrik, Jumlah Penduduk dan Kepadatan di KPHL Biak Numfor Tabel 18.Sebaran Suku di Kabupaten Biak Numfor Tabel 19.Efisiensi Kepemilikan atas Sumberdaya lahan/tanah dan Sumberdaya Alam di Kabupaten Biak Numfor Tabel 20.Berbagai Manfaat yang diperoleh Masyarakat Biak Numfor dari Sumberdaya Hutan disekitarnya Tabel 21.Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Rencana Pengelolaan KPHL Biak Numfor Tabel 22.Pertumbuhan Ekonomi Biak Numfor Tahun Tabel 23.Bentuk Pemberdayaan dan Lembaga yang Berkompeten Tabel 24.Penentuan Unit Pengelolaan Areal Kelola di Hutan Produksi, Lindung dan Konservasi Tabel 25.Strategi menggunakan Kekuatan untuk Memanfaatkan Peluang (strategy S-O) Tabel 26.Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Mengatasi Ancaman (strategy S-T) Tabel 27.Strategi Mengurangi Kelemahan dan Mengatasi Ancaman (strategy W-T) Tabel 28.Rencana Program, Kegiatan, Lokasi dan Target Pencapaian x

13 Halaman Tabel 29.Rencana Penataan Hutan Tabel 30.Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu Tabel 31.Pemberdayaan Masyarakat Tabel 32.Pembinaan dan Pemantauan pada areal yang dibebani Izin Tabel 33.Target Pencapaian Rehabilitasi pada Areal Kerja di Luar Izin Tabel 34.Rencana Penyelenggaraan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Tabel 35.Rencana Penyelenggaraan Koordinasi dan Sinkronisasi antar Pemegang Izin di KPHL Biak Numfor Tabel 36.Koordinasi/Konsultasi dengan Instansi stakeholder terkait Tabel 37.Rencana Penyediaan dan Peningkatan Kapasitas SDM PNS Tabel 38.Data Kelas Perusahaan KPHL Biak Numfor xi

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.Peta Tata Guna Hutan KPHL Biak Numfor... 9 Gambar 2.Peta Pembagian Wilayah KPHL Biak Numfor Berdasarkan RPH Gambar 3.Perubahan Tutupan Lahan di KPHL Biak Numfor Tahun Gambar 4.Curah Hujan, Hari hujan dan Curah Hujan Terbesar sepanjang Tahun 2012 di Kabupaten Biak Numfor Gambar 5.Gubal Gaharu (Aquilaria fillaria) Gambar 6.Berbagai Spesis Burung di Pulau Biak Gambar 7.Dua Spesies Kuskus di Cagar Alam Biak Utara Gambar 8.Wisata Air Terjun Wafsarak di Distrik Warsa Gambar 9.Wisata Air Terjun Wapsdori di Distrik Biak Barat Gambar 10.Situs Budaya Mansar Manarmakeri Lokasi Kampung Sopen Distrik Biak Barat Gambar 11.Perkembangan Kunjungan Wisatawan di Biak Numfor Gambar 12.Angka Ketergantungan Penduduk di Kabupaten Biak Numfor Gambar 13.Sarana Prasarana Pendidikan di Kabupaten Biak Numfor Gambar 14.Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Hutan Gambar 15.Struktur Kelembagaan Tim Pengendali Teknis Gambar 16.Model Partisipasi Pembinaan Masyarakat Hukum Adat Gambar 17.Model Kemitraan Pengelolaan Kawasan Hutan Gambar 18.Peta Rencana Lokasi Kelas Perusahaan xii

15 Bab1 Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan hutan di Papua khususnya di Kabupaten Biak Numfor dalam empat dekade terakhir belum menunjukkan hasil pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari secara maksimal. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya permasalahan yang belum ditangani secara baik. Sumber masalah utama yang perlu diperhatikan adalah lemahnya kepastian hak masyarakat atas kawasan hutan yang menyebabkan konflik pemanfaatan lahan antara negara dan masyarakat, dan lemahnya kelembagaan pengembangan kehutanan yang dapat menangani masalah di lapangan, yang tercermin dari belum adanya lembaga pengelolaan di tingkat tapak. Namun demikian, terkait kepastian hak atas kawasan hutan terdapat konflik atau potensi konflik baik di kawasan yang dikelola dan yang tidak dikelola berupa tumpang tindih klaim hutan negara dan klaim masyarakat adat atau masyarakat lokal lainnya, pengembangan desa/kampung, serta adanya izin sektor lain yang dalam praktiknya terletak dalam kawasan hutan. Selain konflik hak atas kawasan hutan, masalah kehutanan semakin kompleks dengan adanya persoalan kelembagaan termasuk masih lemahnya hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta terlalu memprioritaskan perlindungan dan rehabilitasi hutan daripada mengatasi akar masalah seperti tumpang tindih lahan. Salah satu langkah strategis yang ditempuh pemerintah saat ini untuk menjamin suatu model pengelolaan hutan lestari sesuai dengan fungsi pokoknya adalah melalui pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada tingkat tapak. Pembentukan KPH diperlukan karena dapat menjamin pengelolaan hutan yang tepat, terpadu dan komperehensif sehingga lebih bermanfaat. Langkah strategis ini semakin jelas dengan adanya surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 648/Menhut-II/2010 tanggal 22 November 2010 tentang KPHL Biak Numfor dan diperkuat lagi dengan adanya Peraturan Daerah 1

16 Kabupaten Biak Numfor Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja KPHL Biak Numfor yang menjadikan KPHL Biak Numfor sebagai Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD). Pengelolaan hutan yang tepat, terpadu dan komperehensif melalui skema KPH dapat berlangsung dengan baik apabila menyusun rencana yang baik yang mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2011 yang menyatakan bahwa rencana kawasan hutan berdasarkan skala geografis terdiri dari Rencana Kehutanan Tingat Nasional, Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi, Rencana Kehutanan Tingkat Kota/Kabupaten dan Rencana Kesatuan Pengelolaan Hutan. Peraturan tersebut mengacu pada Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 pasal 10 ayat 2 dan Sistem Perencanaan Kehutanan (P.42/Menhut- II/2010). Penyusunan dokumen rencana pengelolaan ini diharapkan dapat menjadi dokumen yang akan dipedomani oleh pihak pengelola KPHL Biak Numfor sebagai institusi pengelola hutan di tingkat tapak dan seluruh stakeholder kehutanan secara umum. Data yang dilibatkan dalam penyusunan rencana pengelolaan ini meliputi seluruh karakteristik ekologi, sosial dan ekonomi, serta dilengkapi dengan isu dan permasalahan yang dihadapi guna membentuk baseline data dalam penentuan prioritas pengelolaan Maksud dan Tujuan Pengelolaan Maksud Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang RPHJP- KPHL Biak Numfor ini adalah : 1. Menyediakan rencana pengelolaan (management plan) jangka panjang kurun waktu 10 tahun ( ) untuk mengarahkan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan pada setiap blok di wilayah KPHL Biak Numfor. 2. Memberikan arahan bagi stakeholder kehutanan yang berkepentingan dalam kegiatan pembangunan kehutanan di wilayah KPHL Biak Numfor. Tujuan pengelolaan hutan selama 10 tahun di Kawasan Hutan KPHL Biak Numfor adalah untuk : 1. Penataan kawasan hutan di Kabupaten Biak Numfor yang lebih baik 2

17 2. Pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan secara bertanggung jawab, arif, bijaksana dan lestari 3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan 4. Perlindungan hutan dan konservasi alam 1.3. Sasaran Hasil yang ingin dicapai selama pengelolaan 10 tahun kedepan di KPHL Biak Numfor, antara lain: 1. Terdefinisinya wilayah KPHL Biak Numfor dari aspek ekologi yang berkaitan dengan: a). Kondisi fisik wilayah antara lain : Tutupan lahan, topografi, geologi, jenis tanah, iklim dan tata guna lahan, b). Kondisi hutan yang meliputi : jenis dan volume tegakan hutan, sebaran vegetasi, flora dan fauna, potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan dan c) Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS); 2. Terdefinisinya kondisi ekonomi yang berkaitan dengan: a). Aksesibilitas wilayah KPHL Biak Numfor, b). Potensi pendukung ekonomi sekitar wilayah KPHL Biak Numfor, c). Batas administrasi pemerintahan dan d). Nilai tegakan hutan baik kayu maupun bukan kayu termasuk jasa lingkungan; 3. Terdefenisinya kondisi sosial yang berkaitan dengan: a). Perkembangan demografi sekitar kawasan, b). Pola-pola hubungan sosial masyarakat dengan hutan, c). Keberadaan kelembagaan masyarakat dan d). Pola penguasaan lahan oleh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan Dasar Hukum Dasar hukum yang digunakan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan terdiri dari : a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan b. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan c. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Jo Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan d. Permenhut P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH 3

18 e. Permenhut P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan Hutan pada KPH Lindung (KPHL) dam KPH Produksi (KPHP) f. Permenhut P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan g. Permenhut P.51/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kehutanan h. Permenhut No. P.57/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kerja Kementerian Kehutanan tahun 2012 i. Permenhut No. P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional j. Permenhut No. P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat k. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 648/Menhut-II/2010 tanggal 22 November 2010 tentang KPHL Biak Numfor l. Peraturan Dirjen Planologi No. P.05 Tahun 2012 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan m. Peraturan Daerah Kabupaten Biak Numfor Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja KPHL Biak Numfor Ruang Lingkup Ruang Lingkup Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL Biak Numfor berada pada Bab V,VI dan VII yang meliputi : a. Bab V berisi : 1. Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola dan Penataan Hutan yang meliputi: a). Inventarisasi berkala wilayah kelola dan b). Penataan Hutan 2. Pemanfaatan hutan wilayah tertentu 3. Pemberdayaan masyarakat 4. Pembinaan, pemantauan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan pada areal yang berizin 5. Rehabilitasi Pada Areal Kerja di Luar Izin 4

19 6. Pembinaan dan Pemantauan Rehabilitasi dan Reklamasi di dalam areal yang Berizin 7. Rencana Penyelenggaraan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 8. Rencana penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar Pemegang izin 9. Koordinasi/konsultasi dengan instansi dan stakeholder terkait 10. Penyediaan dan peningkatan kapasitas SDM 11. Penyediaan Pendanaan 12. Pengembangan Data Base 13. Rasionalisasi Wilayah Kelola 14. Review Rencana Pengelolaan 15. Pengembangan Investasi 16. Kelas Perusahaan b. Bab VI. Berisi : Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian. c. Bab VII. Berisi : Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Batasan Pengertian Beberapa batasan mengenai istilah yang digunakan dalam buku ini adalah sebagai berikut: 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (pasal 1 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999). 2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap (pasal 1 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999). 3. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 ayat 4 UU No. 41 Tahun 1999). 4. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (pasal 1 ayat 7 UU No. 41 Tahun 1999). 5. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah 5

20 banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (pasal 1 ayat 8 UU No. 41 Tahun 1999). 6. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (pasal 1 ayat 9 UU No. 41 Tahun 1999). 7. Hutan tanaman industri adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan (pasal 1 ayat 18 PP No. 6 Tahun 2007). 8. Hutan tanaman rakyat adalah tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (pasal 1 ayat 19 PP No. 6 Tahun 2007). 9. Hutan tanaman hasil rehabilitasi adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun melalui kegiatan merehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan dalam rangka mempertahankan daya dukung, produktifitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan (pasal 1 ayat 20 PP No. 6 Tahun 2007). 10. Kesatuan pengelolaan hutan selanjutnya disingkat KPH adalah unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari (pasal 1 ayat 1 PP No. 6 Tahun 2007). 11. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH ditingkat tapak, yang diindikasikan oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam sistem pengelolaan hutan secaraa efisien dan lestari (pasal 1 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK. 80/VII-PW/2006). 12. Rencana pengelolaan hutan adalah konfigurasi peta situasi, visi-misi, tujuan dan sasaran yang dijabarkan ke dalam resep atau arah manajemen strategis yang terpadu yang menyangkut kelola kawasan, kelola pemanfaatan hutan, 6

21 kelola pasar, kelola konservasi dan kelola rehabilitasi-restorasi dalam kerangka pencapaian fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial yang optimal. 13. Rencana pengelolaan jangka panjang adalah rencana pengelolaan pada tingkat strategis berjangka waktu atau selama jangka benah pembangunan KPH. 14. Rencana pengelolaan jangka pendek adalah rencana pengelolaan hutan berjangka waktu satu tahun pada tingkat operasional berbasis petak dan/atau zona dan/atau blok. 15. Resort hutan merupakan bagian dari hutan yang secara geografis bersifat permanen, yang secara strategis ditetapkan untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan teritorial (pada waktu yang lalu disebut Blok RKL dan Blok RKT). 16. Zona merupakan bagian dari KPH yang secara geografis bersifat permanen, yang secara strategis ditetapkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi manjemen, terutama dalam fungsi konservasi, yang menjadikannya sebagai kesatuan pengelolaan konservasi lestari. 17. Blok pada unit KPH model adalah bagian areal yang secara geografis bersifat permanen, yang secara strategis ditetapkan untuk meningkatkan efetifitas dan efisiensi manjemen, terutama dalam fungsi perlindungan hidro-orologi yang menjadikannya sebagai kesatuan pengelolaan perlindungan hidrologi lestari. 18. Petak adalah unit terkecil lahan hutan yang lokasi geografisnya bersifat permanen, sebagai basis pemberian perlakukan pengelolaan dan menjadi satuan administrasi dari setiap kegiatan pengelolaan (silvikultur) yang sama untuk diterapkan atasnya. 19. Anak petak adalah bagian dari petak yang bersifat temporer, yang oleh sebab tertentu memperoleh perlakuan silvikultur atau kegiatan pengelolaan yang khusus dan selanjutnya akan ditetapkan oleh pengelola KPH. 20. Jangka benah (bera) adalah rentang waktu perencanaan yang diperlukan untuk merubah kondisi pengelolaan yang ada saat ini menjadi kondisi yang terstruktur bagi kegiatan pengelolaan hutan lestari. 7

22 Bab2 DESKRIPSI KAWASAN 2.1. Risalah Wilayah KPHL Biak Numfor Letak dan Luas Wilayah KPHL Secara geomorfologi wilayah Kabupaten Biak Numfor merupakan rangkaian kepulauan yang terdiri dari dua pulau besar yakni Pulau Biak dan Pulau Numfor serta sekitar 42 pulau-pulau kecil (Kepulauan Padaido), sehingga wilayah cakupan KPHL Biak Numfor terbagi di kedua pulau tersebut. Keadaan fisik yang demikian juga mempengaruhi jumlah dan luas wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni DAS Biak dan DAS Numfor. DAS Biak terdiri dari SubDAS Dasandoi, Napi, Mansoben, Sorendi dan Wari. DAS Biak dan Numfor masuk dalam kategori DAS prioritas 2. Secara geografis Kabupaten Biak Numfor terletak antara Bujur Timur dan Lintang Selatan. Dengan luas wilayah 2.269,84 km 2. Batas-batas wilayahnya sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Supiori dan Samudera Pasifik - Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Yapen - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. - Sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik. Secara administrasi pemerintahan wilayah KPHL Biak Numfor terletak didalam wilayah pemerintahan Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa kawasan hutan terklasifikasi ke dalam tutupan lahan : hutan lahan kering primer, pertanian lahan kering campur, semak belukar, hutan lahan kering sekunder, lahan terbuka, pemukiman sampai pada daerah mangrove dengan fungsi kawasan yang dominan adalah Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas. 8

23 Gambar 1 Peta Tata Guna Hutan KPHL Biak Numfor Kabupaten Biak Numfor sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Papua memiliki kedudukan yang strategis baik secara ekonomi maupun ekologi. Beragam sumberdaya alam termasuk hutan yang dimiliki telah menjadi penopang hidup masyarakat di wilayah ini, namun faktanya hutan mengalami penurunan kualitas dari waktu ke waktu. Guna mengatisipasi hal tersebut maka pemerintah melalui kementerian kehutanan telah mencanangkan pengelolaan hutan berbasis tapak (site) dengan membangun model-model pengelolaan hutan dalam bentuk KPH. Salah satu KPH model di Papua yang sudah disetujui legalitasnya adalah KPHL Model Biak Numfor. KPHL Biak di Kabupaten Biak Numfor telah ditetapkan sebagai KPH Model melalui SK.No 648/Menhut-II/2010 tanggal 22 November 2010 dengan luas ± ha, yang komposisi fungsinya terdiri dari hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, areal penggunaan lain dan kawasan suaka alam berdasarkan SK. Menhut No. 891 Tahun Luasan dan komposisi fungsi kawasan selanjutnya mengalami perubahan sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 458 tanggal 15 agustus tahun 2012 tentang peta perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan dan penunjukan bukan kawasan 9

24 hutan menjadi kawasan hutan di Provinsi Papua. Berdasarkan surat keputusan Nomor 458 /2002 tersebut maka terjadi perubahan luas, terutama Pulau Biak dan Pulau Numfor. Luas Pulau Numfor ,97 ha dan Pulau Biak seluas ,1 ha, atau sama dengan ,07 ha. Dari luasan tersebut ,15 hektar merupakan kawasan hutan. Komposisi sebaran kawasan hutan di wilayah KPHL Biak disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Fungsi Kawasan Hutan di Wilayah KPHL Biak Numfor No. SK Menhut No. 891 Tahun 1999 SK. Menhut No. 458 Tahun 2012 Fungsi Fungsi Luas (Ha) Luas (Ha) Kawasan Kawasan 1. APL 264,61 APL - 2. HL ,43 HL ,50 3. HP ,89 HP ,31 4. HPT ,62 HPT ,34 5. HPK - HPK - 6. KSA 667,70 KSA - Total ,15 Total ,15 Setelah mengalami perubahan peruntukan, perubahan fungsi dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan maka di wilayah Kabupaten Biak Numfor tidak terdapat lagi kawasan konservasi. Sebagian besar (66,49%) kawasan hutan di dominasi oleh kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi 14,08% dan kawasan hutan produksi terbatas sebesar 19,43%. Besarnya dominansi kawasan lindung menjadi dasar penetapan KPH Biak Numfor sebagai KPH Lindung Model Biak Numfor Sejarah Pembentukan KPHL Model Biak Numfor Proses Pembentukan Proses pembentukan KPH di Provinsi Papua hingga munculnya KPHL Model Biak Numfor, sebagai berikut: a. Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua Pada tanggal 9 s/d 10 April 2008 di Serui Kabupaten Yapen dilangsungkan Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua yang membahas 10

25 berbagai hal tentang Pengelolaan Kehutanan di Provinsi Papua. Pembangunan KPH merupakan salah satu agenda yang dibicarakan. Beberapa agenda yang dihasilkan dalam rakor tersebut adalah : 1. Proses pembentukan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan di Papua dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Model (KPH Model) di Biak sebagai embrio pembangunan kesatuan pengelolan hutan di Papua perlu segera dipercepat agar ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada 2008 dan dilaunching pada tahun Penyusunan rancangan pembangunan (development plan) dan rencana tindak (action plan) kesatuan pengelolaan hutan di Papua dan kesatuan pengelolaan hutan di Yapen perlu diselesaikan pada tahun 2008 ini karena menjadi langkah prioritas awal percepatan pembangunan kesatuan pengelolaan hutan di Papua 3. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Model dapat dibangun juga di Jayapura, Jayawijaya, Boven Digoel, Sarmi dan kabupaten/kota lainnya dengan mengacu prototype KPH Model Biak sesuai ekosistem dan potensi hutannya. 4. Pembentukan kelompok kerja (working group) yang terdiri dari para pihak terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan Papua (pemerintah, pemerintah daerah, akademisi, masyarakat sipil, donor dan mitrakerja kehutanan) untuk memobilisasi sumberdaya yang ada dalam mendorong percepatan pembangunan KPHModel dan KPH lainnya di Kab/Kota wilayah Provinsi Papua melalui Keputusan Gubernur. 5. Mobilisasi sumberdaya (man, money, material, machine, method) dari pemerintah (Kementerian Kehutanan), pemerintah daerah (Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten/Kota), swasta (mitra kerja kehutanan) dan masyarakat sipil dalam program (penguatan kapasitas kelembagaan, database, sosialisasi, dll) serta pendanaan untuk mempercepat pembangunan KPH Model di Biak Numfor dan pembangunan KPH lainnya di wilayah Provinsi Papua. 6. Pembagian peran dan tanggung jawab para pihak dalam mewujudkan KPH Model dan KPH Kabupaten/Kota lainnya di wilayah Provinsi Papua. 11

26 b. Brain Storming Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua Bertempat di Ruang rapat BPKH Wilayah X Jayapura pada tanggal 13 Mei 2008 dilangsungkan diskusi brain storming pembangunan kehutanan Provinsi Papua yang membahas berbagai hal tentang pengelolaan kehutanan di Provinsi Papua termasuk di dalamnya Pembangunan KPH Papua. Adapun pokok pokok pikiran yang dihasilkan adalah sebagai berikut : 1. Perlunya penyusunan konsep pancangan KPH di Papua. 2. Penyusunan prototype KPH. 3. Replikasi KPH model dapat dilakukan oleh institusi/lembaga. 4. Perlunya pembagian peran dalam penyusunan rancang bangun (rancang bangun dan kelembagaan) dengan memasukan inisitif lokal. 5. Perlunya penyusunan peta penyebaran KPH 6. Perlunya menyusun petunjuk teknis penyusunan KPH di Provinsi Papua. 7. Perlunya mengidentifikasi Lesson Learn KPH sebagai dasar dalam penyusunan konsep KPH (ciri khas KPH di Papua). 8. Dalam penyusunan KPH hendaknya diperlukan data-data tersedia : tutupan hutan, fungsi hutan, unit manajemen dan hutan adat, informasi sosial lainnya. 9. Perlunya peta penyebaran suku bangsa dalam penyusunan KPH (SIL). 10. Hendaknya KPH yang dibentuk di Papua memiliki ciri khas (adat,suku dan pemberdayaan masyarakat). 11. Dalam penyusunan KPH hendaknya berbasis DAS/Ekosistem, sebaran suku bangsa dan wilayah KPH. 12. Perlunya penyusunan manejemen pengelolaan terpadu lintas stakeholder. 13. Perlunya mempertimbangkan variabel-variabel (DAS, adat, administrasi,fungsi kawasan) dalam rancang bangun KPH. 14. Pembentukan KPH oleh Gubernur Provinsi Papua c. Pertemuan Lanjutan Hasil Brain Storming Menindaklanjuti hasil brain storming sebelumnya, maka diadakan pertemuan pada tanggal 8 Juli 2008 tentang Pembangunan KPH di Papua. 12

27 d. Workshop Penyusunan Naskah/Dokumen Akademik Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Papua Kegiatan workshop ini dihadiri oleh Pakar Kehutanan, Praktisi Kehutanan, Akademisi dan Pemerintahan serta NGO s pada tanggal 11 s/d 12 Oktober 2008 dilaksanakan workshop Penyusunan Naskah/Dokumen Akademik Pembangunan KPH Papua bertempat di ruang rapat Hotel Yasmin Jayapura. e. Peta Rancang Bangun dan Arahan Perencanaan pembentukan unit wilayah KPH Provinsi Papua dilakukan melalui proses overlay Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Papua, Peta Daerah Aliran Sungai dan Peta Administrasi Pemerintahan. Dari overlay peta-peta dan analisis data yang ada maka Kawasan Provinsi Papua telah didesain dan dibagi habis menjadi 56 unit KPH dan untuk mendukung rencana manajemen setiap unit KPH diberi nomor register yang disusun secara terarah dan berurutan. Proses Penetapan KPH Hasil rancang bangun yang telah disepakati para pemangku kepentingan tersebut, selanjutnya diusulkan Gubernur Papua kepada Menteri Kehutanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.481/Menhut-II/2009 tanggal 18 Agustus 2009, telah dicadangkan 56 KPH yang terdiri 25 unit KPHL dan 31 unit KPHP, termasuk KPHL Biak Numfor yang ditetapkan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Sosialisasi dari Kementerian Kehutanan tentang pemantapan rencana pembentukan KPH Model Biak Numfor pada tanggal 30 Agustus Pada dasarnya Pemerintah Kabupaten Biak Numfor menyambut baik rencana pembentukan KPH Model tersebut. 2. Berdasarkan hasil sosialisasi, Bupati Biak Numfor menyampaikan surat ke Menteri Kehutanan Nomor: 522.1/638 tanggal 28 September 2010 tentang tindak lanjut Sosialisasi Pembentukan KPH Model Biak Numfor. 3. Usulan KPHL Model tersebut selanjutnya disetujui dan ditetapkan Menteri Kehutanan sesuai keputusan KPH Model melalui SK.No 648/Menhut-II/2010 tanggal 22 November 2010 dengan luas ± ha dengan rincian sebagai berikut: 13

28 Hutan Lindung : ± Ha (58,41%) Hutan Produksi Terbatas : ± Ha (26,76%) Hutan Produksi Tetap : ± Ha (14,83%) 4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyusun draf rancangan Peraturan Bupati tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (UPTD KPHL) Model Biak Numfor pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Biak Numfor. 5. Pemerintah Kabupaten Biak Numfor melakukan kajian hukum pada bagian organisasi dan tata laksana dan bagian hukum Sekretariat Daerah Biak Numfor untuk mempercepat proses pembentukan kelembagaan KPHL Biak Numfor. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 2011 lewat voting fraksi di DPRD Kabupaten Biak Numfor ditetapkanlah SKPD KPHL oleh DPRD Kabupaten Biak Numfor. 6. Bupati Biak Numfor selanjutnya mengeluarkan peraturan daerah (PERDA) Nomor 28 Tahun 2011 tanggal 14 Desember 2011 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja KPHL Kabupaten Biak Numfor. 7. KPHL Biak Numfor sebagai KPH pertama di Indonesia berstatus SKPD yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun Pembagian Blok KPHL Pembagian blok KPHL Biak Numfor dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: - Pendekatan ekosistem dengan memperhatikan batasan Sub DAS - Kombinasi dengan pembagian ke dalam grid seluas 289 ha, mengacu pada modul analisis pemodelan spasial tata hutan - Penentuan pengelolaan blok dengan syarat dan kriteria petunjuk teknis (juknis) tata hutan - Hasil inventarisasi dan tata hutan KPHL Biak Numfor Berdasarkan langkah prosedur tersebut di atas maka KPHL Biak Numfor dibagi-bagi ke dalam unit pengelolaan yang lebih kecil, yaitu sebanyak 700 blok dengan perincian sebagaimana tersajikan pada Tabel 2. 14

29 Tabel 2. Pembagian Blok pada KPHL Biak Numfor No Fungsi Hutan Pembagian Blok Luas (ha) Proporsi (%) Blok Inti Lindung Blok Pemanfaatan Blok Perlindungan Produksi Blok Pemanfaatan HHK-HT Blok Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan HHBK Proporsi terbesar dari KPHL Biak Numfor berada di kawasan hutan dengan fungsi lindung sebagai blok inti dengan luas mencapai 64,05%, disusul blok pemanfaatan untuk jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan produksi sebesar 10,93%, blok perlindungan 8,89%, blok pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman 7,83% dan blok pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam seluas 6%. Blok terkecil adalah blok pemanfaatan pada kawasan hutan produksi sebesar 2.30%. Pembangunan Resort Pengelolaan Hutan (RPH) berdasarkan Sub Daerah Aliran Sungai (Sub-Das) dilakukan untuk memudahkan upaya pengelolaan maka wilayah KPHL Biak Numfor. Tabel 3. Pembagian Wilayah KPHL Biak Numfor Berdasarkan RPH No RPH Lokasi Luas ( Ha) 1 Dasandoi I Distrik Yendidori, Biak Kota, Samofa dan Sebagian Distrik Biak Utara 2 Dasandoi II Distrik Biak Timur, Oridek, Padaido, dan Distrik Aimando 52, , Napi dan Dasandoi Distrik Swandiwe, Biak Barat dan Sebagian Distrik Warsa 38, Numfor Distrik Numfor Barat, Numfor Timur, Orkeri, Poiru, dan Bruyadori 32, Sorendi dan Mansoben Sebagian Distrik Swandiwe dan sebagian Distrik Bondifuar 11,

30 No RPH Lokasi Luas ( Ha) 6 Wari Sebagian Distrik Bondifuar, Sebagian Distrik Warsa, Distrik Yawosi, Andei Dalam dan sebagian distrik Biak Utara 57, RPH Wari dan Dasandoi I merupakan RPH terluas, hal ini terlihat dari jumlah wilayah administrasi tingkat distrik yang masuk dalam RPH tersebut, walaupun sub das tidak mengenal batas-batas administrasi suatu wilayah, namun respons pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan sering mempertimbangkan batas administrasi sehingga perlu dipetakan secara jelas. Perhitungan luas kawasan masing-masing RPH perlu dimasukan dalam implementasi program dan kegiatan pengelolaan KPHL. Pulau Biak Pulau Numfor Gambar 2. Peta Pembagian Wilayah KPHL Biak Numfor Berdasarkan RPH 2.2. Potensi Wilayah KPHL Tutupan Lahan Data penutupan lahan untuk KPHL Biak Numfor tersedia untuk tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 yang bersumber dari interpretasi visual 16

31 terhadap Citra Landsat. Berikut ini adalah perubahan penutupan lahan dalam wilayah KPHL Biak Numfor (Tabel 4). Perubahan tutupan lahan pada tahun terjadi pada hutan lahan kering primer menjadi hutan lahan kering sekunder sebesar 93,19 hektar dan semak belukar seluas 158,54 hektar. Hal ini menunjukan bahwa hutan lahan kering primer telah mengalami perubahan luasan selama 3 tahun sebesar 0.54% atau 0.083% per tahun. Tabel 4. Tutupan Lahan pada Wilayah KPHL Biak Numfor Tahun Tutupan Lahan Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer Hutan Rawa Primer Tahun 2000 Tahun 2003 Tahun 2006 Tahun 2009 Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%) , , , Semak Belukar Pemukiman Lahan Terbuka , , Hutan Mangrove Primer Hutan Rawa Sekunder Semak Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur Semak , , , Awan Rawa Jumlah Sumber : Interpretasi Citra Satelit oleh BPKH 17

32 Pada tahun perubahan lahan yang terbesar terjadi pada hutan lahan kering sekunder dan hutan lahan kering primer menjadi semak belukar seluas 821,98 hektar. Dan tahun perubahan tutupan lahan terjadi pada hutan lahan kering primer dan hutan lahan kering sekunder berubah menjadi semak belukar seluas 447,83 hektar, lahan terbuka 365,761 hektar, dan pertanian lahan kering campur semak seluas 3.052,34 hektar. Gambar 3. Perubahan Tutupan Lahan di KPHL Biak Numfor tahun Secara keluruhan perubahan lahan yang paling besar terjadi pada hutan lahan kering sekunder dimana sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 telah mengalami pengurangan luas sebesar 2001,72 hektar atau rata-rata sebesar 222,33 hektar per tahun. Hal ini mengindikasikan telah terjadi deforestasi yang secara langsung mengurangi tingkat kelestarian hutan. Bila diperhatikan, perubahan tutupan lahan hutan memberikan gambaran trend (kecederungan) meningkat dari waktu ke waktu sehingga tingkat keterancaman sumberdaya hutan akan semakin tinggi dan dapat menciptakan ekosistem yang rapuh dalam wilayah KPHL Biak Numfor. Dengan demikian setiap upaya pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya hutan harus diletakan pada kerangka pembangunan berkelanjutan. Perubahan lahan yang terus meningkat akan berdampak pada penurunan debit air, tingginya erosi dan sedimentasi sehingga mempengaruhi kinerja DAS. 18

33 Topografi Keadaan topografi Kabupaten Biak Numfor sangat bervariasi mulai dari daerah pantai yang terdiri dari dataran rendah dengan lereng dan landai sampai dengan daerah pedalaman yang memiliki kemiringan terjal. Berdasarkan ketinggiannya, Kabupaten Biak Numfor berada pada ketinggian 0 sampai dengan 920 m dpl. Ketinggian daerah pantai antara 0 5 m dpl yang meliputi pantai pada Pulau Biak dan Pulau Numfor. Secara morfologi, Pulau Biak terbagi 4 (tiga) satuan, yaitu dataran, datar berombak, berbukit dan bergunung. Daerah dataran terletak terutama di daerah pantai dan sebagian merupakan hutan pantai, yaitu sekitar pulau Biak, Bosnik, dan Marauw. Daerah yang bermorfologi berombak dengan kemiringan antara 3-15% dimana luasnya lebih kurang 20% dari Pulau Biak, serta terbentang dibagian tengah. Sebagian kecil berada di kampung Wardo, kota Biak dan ke arah timur serta sebagian kampung Korem. Sebaran topografi di wilayah KPHL Biak Numfor dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel. 5. Sebaran Topografi KPHL Biak Numfor Ketinggian (m) No. Topografi Luas (ha) < % 2.901,79 0, , % , ,50 29, , % , , ,43 41, , % , , ,58 73, ,93 Jumlah ,23 Selain berada di kawasan samudera Pasifik, Pulau Biak berada di jalur gempa. Gempa Biak terjadi pada Jalur Patahan Sorong yang memanjang dari Papua sampai Kepulauan Sula di Maluku. Secara tektonis, wilayah Indonesia Timur merupakan lokasi pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Pasifik yang bergerak dari arah timur ke barat, Lempeng Australia yang bergerak dari arah tenggara ke barat laut dan Lempeng Eurasia yang bergerak dari arah barat laut ke tenggara. Berdasarkan peta rawan bencana yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kawasan KPHL Biak Numfor masuk dalam kategori rawan gempa kuat, menengah dan kurang kuat. Daerah kategori 19

34 rawan gempa kuat adalah Distrik Biak Timur, Oridek dan sebagian Samofa yang secara geografis berbatasan langsung dengan samudera Pasifik di bagian Timur dari Pulau Biak. Sedangkan untuk kategori rawan gempa menengah adalah distrik Bondifuar, Warsa, Swandiwe, Yawosi dan sebagian distrik Andei Geologi Tatanan stratigrafi wilayah KPHL Biak Numfor tersusun dari beberapa formasi batuan yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Formasi Geologi di KPHL Biak Numfor No. Formasi Pemerian/Deskripsi Luas (ha) 1. Waigeo 2. Napisendi 3. Wainukendi Batu gamping dengan sisipan batu gamping pasiran dan napal; foram besar foram kecilnya. Batu gamping berlapis, batu gamping klastik tufaan, sisipan konglomerat andesit-basal, breksi, batu gamping lepidocyclina, batu gamping pasiran, napal pasiran dan batu pasir Batu gamping hablur, napal, batu gamping berfosil banyak dan grewake, setempat lensa konglomerat basal 867,67 348,75 879,37 4. Endapan lumpur lumpung dan lumpur merupakan endapan hasil leleran poton ,09 5. Terumbu koral terangkat Batu gamping koral, batu gamping koral guaan 865,46 6. Klasafet 7. Wardo Batu napal, batu lumpur gampingan, sisipan kalsilutit Batu gamping napalan dan pasiran disertai banyak sekali foraminifera , ,39 8. Mokmer Batu gamping koral dan kapur ,61 9. Aluvium Kerakal, kerikil, pasir, gambut dan lanau 2.944, Auwewa Lava basal, tufa, litis, tufa hablur, setempat breksi andesit-basal 708,57 20

35 Formasi terbesar adalah formasi klasafet dengan luas wilayah ,92 hektar. Formasi ini terdiri dari batu napal, batu lumpur gampingan, sisipan kalsilutit. Napal merupakan kalsium karbonat atau kapur kaya lumpur atau batu lumpur yang mengandung sejumlah variabel tanah liat dan aragonit. Napal awalnya merupakan istilah lama secara bebas diterapkan untuk berbagai bahan, yang sebagian besar terjadi secara bebas, deposito membumi yang terdiri terutama dari campuran tanah liat dan inti kalsium karbonat yang terbentuk di bawah kondisi air tawar, khusus zat yang mengandung tanah liat meluas dari 35-65% dan 65-35% karbonat (Wikipedia, 2012). Sedangkan kalsilutit merupakan batu gamping klastis berbutir halus Jenis Tanah Kepulauan di wilayah Kabupaten Biak Numfor terbentuk dari batu karang metamorfik (filit, kuartit dan chrit) sebagai bagian dari lempengan Pasifik yang terdesak tanggul-tanggul baltik. Jenis tanah yang terdapat di daerah ini adalah renzina litosol dan latosol yang terbentuk dari bahan induk batu gamping (dominan), batu karang dan bahan volanik. Pada daerah dengan relief datar-berombak, jenis tanah didominasi oleh litosol dengan bahan induk batu karang. Jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan rendah, karena didominasi oleh tekstur pasir dengan solum tanah yang relatif dangkal. Jenis tanah ini sangat dominan di Pulau Numfor. Jenis tanah renzina terdapat pada daerah dengan relief bergunung dan berbukit yang tersebar dari Distrik Yendidori sampai ke perbatasan dengan Kabupaten Supiori. Sedangkan tanah latosol banyak terdapat pada daerah berrelief gunung di sekitar Distrik Oridek dan Biak Timur. Profil tentang jenis tanah dan sebarannya untuk KPHL Biak Numfor sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis Tanah dan Persebarannya No. Bahan Induk Subland Relief Jenis Tanah Luas (ha) 1. Batu gamping Pegunungan Karst Bergunung Renzina/Rendoll 1.243,98 2. Batu gamping Perbukitan Karst Berbukit Renzina/ Rendoll ,42 3. Batu karang Terumbu karang Datarberombak 4. Volkanik Pegunungan Volkan Litosol/Enthisol ,33 Bergunung Latosol/Inceptisol 4.178,58 21

36 Jenis tanah yang tersebar paling merata adalah jenis Renzina/Rendoll, yakni sebanyak 52,31%, disusul jenis tanah litosol dengan luas mencapai 45%. Jenis tanah tersebut memiliki tingkat kesuburan yang rendah, sehingga mempengaruhi produktifitas hasil-hasil pertanian di Kabupaten Biak Numfor Iklim Iklim suatu wilayah sangat menentukan rencana pengelolaan kawasan hutan. Sedangkan iklim sendiri ditentukan oleh curah hujan yang terjadi dalam 1 (satu) tahun, yaitu ditentukan oleh banyaknya bulan basah dan bulan kering dalam tahun tersebut. Tipe iklim dalam suatu wilayah dapat ditentukan menggunakan klasifikasi Schmidt Ferguson. Kriteria yang digunakan adalah dengan penentuan nilai Q, yaitu perbandingan antara bulan kering (BK) dan bulan basah (BB) dikalikan 100% (Q = BK / BB x 100%). Temperatur di Kabupaten Biak Numfor berkisar antara 26,6 0 C sampai dengan 27,4 0 C dimana fluktuasi perubahan temperatur terjadi hampir sama setiap bulannya. Tabel 8. Rata-Rata Tekanan Udara di Biak Numfor Tahun Bulan Januari 1 005, , , , ,7 Februari 1 006, , , , ,3 Maret 1 007, , , , ,5 April 1 006, , , , ,0 Mei 1 007, , , , ,0 Juni 1 008, , , , ,8 Juli 1 008, , , , ,1 Agustus 1 007, , , , ,5 September 1 008, , , , ,1 Oktober 1 008, , , , ,9 November 1 006, , , , ,3 Desember 1 006, , , , ,7 Rata-Rata 1 007, , , , ,4 Sumber: Biak Numfor dalam Angka, Tahun 2013 Tekanan udara berfluktuasi rata-rata 26 sampai 27,4% per tahun. Sejak tahun tekanan udara berfluktuasi relatif kecil. Sedangkan curah hujan di Kabupaten Biak Numfor yang diperoleh dari rekaman hasil pengamatan oleh stasiun meteorologi klas 1 Frans Kaisiepo Biak pada tahun 2011 menunjukkan 22

37 bahwa fluktuasi curah hujan hampir merata sepanjang tahun dengan rata-rata 287,5 mm dan rerata jumlah hari hujan 24. Hari hujan tertiggi terjadi pada bulan agustus 456,1 hari hujan dan terendah pada bulan November 123 hari sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau tidak nampak jelas karena distribusi hujan terjadi secara merata akibat pola angin lokal yang bertiup dengan kecepatan yang tidak merata. Kedudukan Biak Numfor sebagai kabupaten yang terbangun atas gugusan pulau juga memberikan pengaruh nyata terhadap pola angin lokal dan terjadinya gelombang dan hujan lebat. Gambar 4. Curah Hujan, Hari hujan dan Curah Hujan Terbesar sepanjang tahun 2012 di Kabupaten Biak Numfor Berdasarkan perhitungan Shcmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Biak Numfor dikategorikan sebagai daerah tipe A yang berarti sangat basah. Hal ini memberikan gambaran bahwa Biak Numfor merupakan gugusan pulau dengan karakteristik tipe hutan hujan tropika yakni hutan yang selalu terlihat hijau (evergreen). Oleh sebab itu pulau ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi Tata Guna Lahan Gambaran umum tentang tata guna lahan pada KPHL Biak Numfor didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Biak Numfor 23

38 dan keadaan tutupan lahan terbaru, dimana arahan untuk tata guna dikelompokkan dalam bidang kehutanan, perkebunan, pertanian dan pariwisata. Untuk sektor kehutanan dikategorikan berdasarkan kepentingan produksi dan perlindungan, untuk pertanian di alokasikan untuk palawija, dan kelapa sedangkan untuk perkebunan diarahkan untuk kelapa sawit, karet dan pengembangan komoditas perkebunan lainnya. Berdasarkan arahan RTRW penggunaan lahan terbesar dialokasikan untuk kegiatan di bidang pariwisata (81,84%), disusul bidang kehutanan (10,64%) dan disektor lainnya sebagai pendukung, hal ini menunjukan bahwa pariwisata merupakan sektor unggulan yang diharapkan dapat memberikan topangan ekonomi yang kuat bagi kesejahteraan masyarakat. Tabel 9. Tata Guna Lahan KPHL Biak Numfor No. Tata Guna Luas (Ha) Proporsi (%) 1. Kehutanan , Perkebunan , Pertanian , Perikanan 2.392, Pariwisata 708, Tipe Hutan dan Potensi Flora-Fauna a. Tipe Hutan dan Penyebarannya Secara umum kawasan hutan di Biak Numfor membentuk tipe ekosistem unik karena adanya bentangan samudera dan laut di sekitarnya serta pengaruh jenis tanah (edafic) dan iklim (climetic), sehingga mempengaruhi keanekaragaman jenis (biodiversity) dan habitatnya. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada keragaman dan penyebaran vegetasi, namun juga berlaku pada kekayaan fauna hutan yang ada, baik pada tingkat terendah seperti serangga (insect) hingga pada tingkat teratas pada hewan menyusui (mamals). Pembentukkan tipe hutan yang terjadi pada kawasan ini diperkirakan dipengaruhi oleh faktor jenis tanah (edafic) dan letak ekosistemnya. Berdasarkan hasil eksplorasi dan pengamatan, pengelompokan tipe hutan yang terdapat di kawasan ini terdiri atas hutan pantai, hutan rawa, hutan payau dan hutan dataran rendah. 24

39 Hutan pantai merupakan tipe hutan yang penyebarannya paling merata karena berada di sepanjang garis pantai. Ekosistem hutan pantai wilayah ini terdiri atas 2 sub tipe hutan yang dipengaruhi oleh letak dan jenis tanahnya, dimana sebagian besar merupakan tipe ekosistem hutan pantai yang tumbuh di atas tanah berpasir dan berbatasan langsung dengan garis pantai serta sedikit mengalami gempuran ombak. Sedangkan pada sisi lainnya terutama pada daerah yang menghadap ke Samudra Pasifik memutar hingga ke bagian selatan merupakan kawasan yang mengalami gempuran ombak dan arus Samudra Pasifik serta angin timur yang kencang dengan ekosistemnya yang didominasi oleh bebatuan cadas pada bagian depan dan pada beberapa bagian membentuk pantai tebing berbatu (fyord) akibat hantaman ombak. Bebatuan cadas ini menjadi penghalang dan pembatas (barier) bagi vegetasi yang tumbuh di atas atau dibelakangnya dari gempuran ombak dan arus samudera. Tipe hutan rawa termasuk rawa gambut dan payau umumnya terletak di delta-delta sungai-sungai besar dan sepanjang tepi sungai berukuran sedang dan kecil serta wilayah pesisir yang landai dan terdapat di wilayah Biak Numfor. Camnosperma sp merupakan spesies dominan dapat mencapai ketinggian mdpl di hutan rawa. Komposisi jenis hutan rawa bervariasi menurut luas lokasi awalnya dan ketersediaan benihnya. Komunitas hutan rawa tersebar sangat sedikit di Pulau Biak dan Pulau Numfor. Hutan rawa bertajuk rata dan agak terbuka, kadang rapat di beberapa tempat dan sebatang pohon dapat mencapai ketinggian 30 m. Jenis-jenis lain yang juga dominan adalah Terminalia caniculatai, Nauclea coadunate, Zyzigium, Alstonia scholaris, Bischofia javanica dan Palaquium. Hutan mangrove membentuk pola-pola persebaran jenis yang kompleks dan terselubung di seluruh bentang laut pasang surut dan di hulu hilir, yang terkait dengan toleransi individu suatu jenis dengan faktor abiotik. Hutan mangrove di wilayah ini merupakan hutan mangrove yang berkembang menghadap ke laut didominasi oleh Avicennia marina dan Soneratia alba. Pada daerah hulu vegetasi didominasi oleh Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhizha. 25

40 Tipe hutan dataran rendah secara umum dijumpai pada seluruh wilayah. Tipe hutan dataran rendah ini terbagi menjadi dua tipe hutan, yaitu tipe hutan dataran rendah primer dan tipe hutan dataran rendah sekunder. Tipe hutan dataran rendah primer masih memiliki tegakan hutan dataran rendah primer yang alami pada beberapa ratus meter dari garis pantai, namun pada beberapa bagian juga telah mengalami gangguan aktifitas manusia. Areal hutan dataran rendah primer cenderung masih cukup baik karena sebagian besar areal ini sulit dijangkau akibat topografinya yang cukup berat (terjal) dengan kemiringan di atas 40%. Sedangkan tipe hutan dataran rendah sekunder kebanyakan terbentuk akibat aktifitas pertanian tradisional (perladangan berpindah) dan penebangan liar (baik untuk kayu perkakas maupun kayu/bahan bakar) banyak dijumpai dan menyebar di seluruh wilayah pulau Biak dan Numfor. Hutan dataran rendah merupakan tipe vegetasi darat yang paling kompleks dan tertinggi jenisnya di dunia (Whitemore, 1984). Menurut Paijmans (1976) hutan dataran rendah dicirikan oleh vegetasi yang tinggi dan komposisi floranya yang sangat kaya. Dimasing-masing lapisan, komposisi floranya tidak beraturan, ketinggian, tutupan dan ukuran tajuknya bervariasi dan sangat mencolok bila dilihat dari udara. Hutannya lebih terbuka dan memiliki banyak celah yang dihuni pepohonan yang lebih rendah. Jenis pohon yang selalu ada di lapisan atas adalah Pometia pinnata, Pterygota horsfieldii dan Palaquium amboinensis. b. Potensi Flora Hutan KPHL Biak Numfor merupakan tipe hutan dataran rendah yang berada pada ketinggian m dpl. Karakteristik hutan dataran rendah yang membedakannya dengan bioma teresterial lainnya terletak pada tingginya kerapatan jenis pohon dan range ketinggian m dpl. Hutan dataran rendah di Papua termasuk wilayah KPHL Biak Numfor memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berdasarkan hasil kompilasi data sekunder flora berkayu dari kelompok pohon yang terdata sebanyak 135 spesies dari 41 famili. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 163/Kpts- II/2003, maka dari 135 spesies pohon yang ada, terdapat 30 spesies pohon (39,06%) yang 26

41 masuk dalam kategori kayu komersil (Tabel 10). Hasil hutan kayu yang selama ini dimanfaatkan didominasi jenis pohon seperti merbau, nyatoh, agathis, matoa dan bitanggur. Jenis-jenis pohon ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai komoditi unggulan daerah dibidang kehutanan. Jenis-jenis kayu ini dimanfaatkan baik sebagai bahan konstruksi bangunan maupun bahan-bahan baku meubel yang sangat diminati oleh masyarakat. Selain untuk keperluan bangunan dan meubel kayu di Kabupaten Biak Numfor dominan digunakan juga untuk keperluan bahan bakar (kayu bakar). Masyarakat di Distrik Numfor Barat menggunakan berbagai jenis kayu dengan rata-rata konsumsi per kk/hari sebesar 0,089 sm yang berada dalam interval 0,08 sm s/d 0,097 sm (Bondo, 2005). Jenis-jenis kayu tersebut antara lain kayu Bram (Linociera macrophylla), Mes (Pometia coriceae), America (Timoniussp.), Parem (Ceriops tagal), Kor/Mampiu (Rhizophora apiculata), dan Aibon (Bruguiera gymnorrhiza). Faktor yang diduga mempengaruhi konsumsi kayu bakar adalah aksesibilitas, tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga serta tingkat pendidikan. Selain potensi kayu terdapat juga Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) potensial seperti rotan dan gaharu. Sumberdaya ini dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk kepentingan konsumtif maupun semi komersial dalam meningkatkan nilai tambah penerimaan rumah tangga. Gambar 5 Gubal Gaharu (Aquilaria fillaria) Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan mangrove relative tinggi hal ini terlihat dari jumlah jenis yang dimanfaatkan sebanyak delapan jenis (Bruguiera gymnorhiza, Ceriops tagal, Rhizhophora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicenia alba, Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans) 27

42 yang termasuk dalam lima family (Rhizophoraceae, Soneratiaceae, Aviceniaceae, Meliaceae dan Palmae). Produk yang dihasilkan dan dipasarkan adalah makanan dari buah Bruguiera gymnorrhiza (Aibon) dan Pola pemasarannya bersifat barter. Tindakan konservasi tradisional dilakukan berupa larangan untuk menebang vegetasi yang belum siap ditebang dan pengambilan hasil yang berlebihan. Tabel 10. Jenis-jenis Kayu Komersil di Wilayah Hutan KPHL Biak Numfor No Nama Dagang Nama Jenis Famili 1 Damar Agathis labilardieri Araucariaceae 2 Terap Artocarpusspp Moraceae 3 Terentang Buchanania sp Anacardiaceae 4 Bakau Bruguiera spp, Rhizophora spp Rhizophoraceae 5 Sengon Paraserianthes falcataria Fabaceae 6 Bipa Pterygota horsfieldi Malvaceae 7 Bintangur Callophyllum sp Clusiaceae 8 Terentang Campnosperma sp Anacardiaceae 9 Kenanga Cananga odorata Annonaceae 10 Kenari Canarium spp, Haplolobus spp Burseraceae 11 Penjalin Celtis latifolia Ulmaceae 12 Medang Cinnamommumspp Lauraceae 13 Dao Dracontomelum sp Anacardiaceae 14 Eboni Diospyrossp Ebenaceae 15 Renghas Semecarpus papuana Anacardiaceae 16 Lancat Mastixiodendron pachyclados Gnetaceae 17 Gia Homalium foetidum Flaucortiaceae 18 Merbau Intsia bijuga Caesalpinaceae 18 Tenggayung Parartocarpus spp Meliaceae 19 Medang Litseaspp, Dehaasia spp Lauraceae 20 Simpur Dillenia sp Dilleniaceae 21 Mahang Macaranga sp Euphorbiaceae 22 Mendarahan Myrisiticaspp Myristicaceae 23 Binuang Octomeles sumatrana Datiscaceae 24 Nyatoh Palaquium spp Sapotaceae 25 Pulai Alstonia spp Apocynaceae 26 Matoa Pometia spp Sapindaceae 27 Kendongdong Spondias sp Anacardiaceae 28 Kelumpang Sterculia spp Sterculiaceae 29 Kelat Zysigium spp Myrtaceae 30 Sawo Manilkara sp Sapotaceae Berdasarkan data re-enumerasi PSP di Biak Numfor diketahui bahwa untuk jenis komersil dan non komersil kelas diameter cm potensi per hektar mencapai 71,56 m 3 /ha, sedangkan kelas diameter 50 cm keatas memiliki volume 28

43 47,46 m 3 /Ha. Bila dihitung masing-masing jenis maka kayu komersil memiliki volume 1,31 m 3 /ha dan kayu non komersil 1,02 m 3 /ha (Baplan, 2003). Sedangkan inventarisasi potensi hasil hutan yang dilakukan oleh KPHL Biak Numfor bersama masyarakat dan mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Papua (UNIPA) Mei 2014 pada kawasan hutan di Kampung Makmakerbo dan Sawadori pada Hutan Produksi Terbatas, Kampung Sepse pada Hutan Produksi diketahui pohon besar dan pohon kecil yang dikategorikan sebagai pohon komersil dan bukan komersil sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Pohon Komersil dan bukan komersil pada Hutan Produksi RPH Dasandoi No Ukuran Kelompok jenis 1 Pohon Besar 2 Pohon Kecil Jumlah batang dan vol N (btg/ha) V(m 3 /ha) Jumlah Jenis Kayu Komersial 34 46,34 42 Bukan Komersial ,34 78 Kayu Komesial Bukan Komersial Sumber : Data Primer Tim Survei Ekologi Vegetasi KPHL dan UNIPA Berdasarkan analisis vegetasi tingkat pohon besar dan pohon kecil diketahui 10 jenis dominan pada HPT Makmakerbo dan HPT Sawadori seperti Tabel 12. Pada pohon besar jenis Pimiliodendron amboinucum merupakan jenis dominan dengan INP sebesar dan terendah Jenis Sphatiostemon jafanensis dengan nilai INP sebesar Sedangkan pada pohon kecil terbesar pada jenis Myristica tubiflora dengan INP sebesar dan terendah jenis Sizygium sp dengan INP sebesar

44 Tabel Jenis pohon besar (diameter > 35) dan pohon kecil (diameter 20-34) dominan HPT Makmakerbo dan HPT Sawadori. No Jenis Pohon INP Pohon Kecil INP (%) (%) 1 Pimiliodendron Myristica tubiflora amboinucum 2 Pometia pinnata Pometia pinnata Sysigium sp Spothiostemon javanensis Palaquium amboinensis Pimiliodendron amboinicum Haplolobus lancelatus Myristica fatua Ficus benjamina Hosfeldia irya Petryogota sp Haplolobus lancelatus Camnosperma sp Palaquium amboinensisi Haplolobus cerabicus Horsfeldia sp Sphatiostemon javanensis 7.88 Sizygium sp 8.37 Sumber : Data Primer Tim Survei Ekologi Vegetasi KPHL Biak Numfor dan UNIPA Untuk jenis merbau potensi regenerasi secara alami berdasarkan penelitian di hutan Padaido Biak pada hutan primer menunjukkan bahwa semai (2080 N/Ha), Pancang (12,8 N/Ha) dan Tiang (4 N/Ha). Tokede dan Kilmaskossu (1992), melaporkan bahwa semai merbau banyak dijumpai pada lahan-lahan terbuka dibanding pada daerah dengan tegakan rapat atau pada hutan bekas tebangan dibanding pada hutan utuh. Lebih jauh dijelaskan bahwa struktur dan komposisi permudaan jenis merbau pada kondisi hutan utuh dan hutan bekas tebangan sangat bervariasi menurut tipe habitat dan tingkat penutupan tajuk. Pada hutan-hutan yang tingkat kerapatan tajuk terhambat. padat, regenerasi merbau sering Fakta ini yang perlu dijadikan pertimbangan dalam upaya melestarikan jenis merbau pada areal-areal bekas tebangan di hutan produksi. Regenerasi alamiah dapat ditingkatkan melalui kegiatan pemeliharaan tegakan tinggal (penjarangan tajuk) untuk memberikan kesempatan semai dan sapihan jenis ini tumbuh ke tingkat pertumbuhan selanjutnya. Alternatif lain dalam upaya melestarikan merbau adalah melakukan permudaan sebagai bagian dari manajemen hutan alam produksi di Tanah Papua. Menurut Data Taman Burung dan Taman Anggrek (TBTA) Biak Mei 2014, terdapat 36 jenis anggrek endemik di Biak yaitu: Acriopcis javanica, 30

45 Agrostophyllum majus, Bulbophyllum sp, Cadetia pothamophila, Coelogyne asperata, Coelogyne beccarii, Calanthe criplicata, Dendrobium anosmum, D. antenatum, D. bifalce, D. bracteusum, D. capituliflorum, D. conanthum, D. macrophyllum, D. macroshyllum, D. mirbelianum, D. plox, D. schullerii, D. siraisi, D. spectabile, Dendrobium sp, Diplocaulobium glabrum, Diplocaulobium sp, Ephemeranta comata, E. rhipidolobium, Ephemerantha sp, Eria sp, Geodorumpictum densiflorum, Gramathophyllum papuanum, G. scriptum, G. stapeliiflorum, Phaius tankerviliae, Pomato calpa, Rhenanthera edelfeltii, Rhenanthera sp dan Spathogolis plicata. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang terdapat di kawasan hutan KPHL Biak Numfor, antara lain: rotan, gaharu, kulit masohi, bambu, tanaman penghasil minyak kayu putih dan budidaya tanaman Agathis labillardierii. Potensi jasa lingkungan dan ekowisata juga ditargetkan akan dikelola di kawasan hutan KPHL Biak Numfor. Waktu pelaksanaan kegiatan ini ditargetkan 10 tahun mendatang sesuai dengan rencana pengelolaan jangka panjang KPHL Biak Numfor. c. Potensi Fauna Jenis-jenis mamalia yang terdapat di Pulau Biak dan banyak diburu sebanyak 26 jenis, antara lain bandikot, kus-kus abu-abu, kus-kus bertotol dan babi hutan. Sedangkan menurut data Taman Burung dan Taman Anggrek Biak (2008), jenis burung endemik Biak ada 9 (sembilan) jenis, yaitu: bayan merah (Ecletus roratus), bayan hijau (Ecletus sp), mambruk viktoria (Goura viktoria), nuri kepala hitam (Lourius lorry), nuri merah sayap hitam biak (Eos cyainogenia) dan nuri pelangi (Tricholossus haematodus). Pitta sordid Micropsitta geelvinkiana Halcyon sancta Ptilinopus viridis Gambar 6. Berbagai Spesis Burung di Pulau Biak (Foto : Tony Tilford) 31

46 Selain kelompok aves, pulau Biak dan Numfor juga menyimpan potensi mamalia, dan kelompok reptil. Salah satu kelompok reptil dari jenis kodok yang ditemukan di Pulau Biak merupakan spesis baru di dunia dengan ukuran panjang 20 mm telah dokumentasi oleh ahli herpetologi Jerman dan dipublikasikan secara internasional dengan nama ilmiah Oreophryne kapisa. Oreophryne kapisa (Foto: Tony T) Kelompok hewan mamalia seperti kuskus (Phalanger sp) paling banyak tersebar di pulau Numfor. Kuskus di Pulau Numfor memiliki pertumbuhan populasi yang relatif tinggi hal ini ditunjang tersedianya sumber-sumber pakan anternatif dari lahan-lahan pertanian dan perkebunan masyarakat yang berpengaruh terhadap hasil sehingga kuskus pernah menjadi hama bagi usaha pertanian di Pulau Numfor. Sejak tahun 1997 banyak dilakukan perburuan terhadap kuskus. Hasil pengamatan menunjukan bahwa pada tahun 1999 sebanyak 92 ekor kuskus dijual ke luar dari pulau Numfor, namun tahun 2000 dan 2001 hanya sebanyak 59 dan 31 ekor (Sinery, 2006). Penurunan hasil buruan ini sebagai indikasi perubahan aktivitas perburuan yang dilakukan oleh masyarakat ataupun akibat dinamika populasi kuskus. Spilocuscus maculatus (foto: W.R. Farida, 2003) Phalanger orientalis (foto: W.R. Farida, 2003) Gambar 7. Dua Spesies Kuskus di Cagar Alam Biak Utara Jenis tanaman yang menjadi pakan bagi kuskus ini ditemukan sebanyak 57 jenis pada tingkat pohon dan tumbuhan tempat bersarang sebanyak 11 spesis yang memiliki ketinggian sarang antara 5,5 39 meter (Dahruddin et al 2005). 32

47 Kuskus sebagai hewan yang hidupnya di atas pohon (arboreal) tidak memilih jenis-jenis pohon tertentu sebagai tempat bersarang/bersembunyi, yang penting pohon tersebut berdaun rimbun, banyak epifit dengan akar yang menggantung. Sarangnya adalah tempat yang dibuat diantara dahan dan tersusun dari dedaunan sebagai alas dan penutup. d. Keberadaan Flora dan Fauna Langka Flora Keberadaan flora dan fauna langka sangat erat hubungannya dengan spesies yang dilindungi dan keendemikan jenis. Jenis tumbuhan endemik (endemic plant species) ini sangat berhubungan dengan daerah penyebaran jenis tumbuhan. Bila dikatakan endemik Pulau Biak Numfor, maka jenis tersebut hanya ada dan terdapat di Pulau Biak Numfor saja, jenis tersebut tidak akan dijumpai di mana pun di dunia. Sifat atau katagori keendemikan ini sangat penting untuk upaya pelestarian dan pengelolaannya di masa depan. Terdapat satu spesis dari jenis anggrek Dendrobium schulleri (Orchidaceae) yang sangat khas dan endemik di Pulau Numfor. Sementara jenis lainnya adalah jenis palem Hydriastele dransfieldii (Hambali et.al.) W.J.Baker & Loo dan Hydriastele biakensis W.J.Baker & Heatubun (Arecaceae) yang merupakan jenis endemik untuk Pulau Biak dan Pulau Numfor. Fauna Mambruk Victoria atau dalam nama ilmiahnya Goura victoria adalah sejenis burung yang terdapat di dalam suku burung Columbidae. Mambruk Victoria adalah salah satu dari tiga burung dara mahkota dan merupakan spesies terbesar di antara jenis-jenis burung merpati. Burung Mambruk Victoria berukuran besar, dengan panjang mencapai 74 cm, dan memiliki bulu berwarna biru keabu-abuan, jambul seperti kipas dengan ujung putih, dada merah marun keunguan, paruh abu-abu, kaki merah kusam, dan garis tebal berwarna abu-abu di sayap dan ujung ekornya. Di sekitar mata terdapat topeng hitam dengan iris mata berwarna merah. Burung jantan dan betina serupa. Populasi Mambruk Victoria tersebar di hutan dataran rendah, hutan sagu dan hutan rawa di bagian utara pulau Papua, yang juga termasuk pulau Yapen, pulau Biak, dan pulau-pulau kecil disekitarnya. 33

48 Burung Mambruk Victoria bersarang di atas dahan pohon. Sarangnya terbuat dari ranting-ranting dan dedaunan. Burung betina biasanya menetaskan sebutir telur berwarna putih. Mambruk Victoria adalah spesies terestrial. Burung ini mencari makan di atas permukaan tanah. Spesies ini sudah jarang ditemui di daerah dekat populasi manusia. Mambruk Victoria dievaluasikan sebagai rentan di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix II. Nuri sayap hitam atau Nuri merah-biak, yang dalam nama ilmiahnya Eos cyanogenia adalah sejenis nuri berukuran sedang, dengan panjang sekitar 30cm, dari suku Psittacidae. Burung nuri ini mempunyai bulu berwarna merah cerah, bercak ungu di sekitar telinga, paruh merah kekuningan, punggung hitam dan mempunyai iris mata berwarna merah. Burung jantan dan betina serupa. Nuri Sayap-hitam hanya ditemukan di habitat hutan di pesisir pulau Biak dan pulau-pulau di Teluk Cenderawasih. Spesies ini sering ditemukan dan bersarang di perkebunan kelapa. Dikarenakan dari hilangnya habitat hutan dan penangkapan liar yang terus berlanjut, serta populasi dan daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas, Nuri sayap-hitam dievaluasikan sebagai Rentan di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendix II. Sebagian satwa yang terdapat di Pulau Numfor termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi maupun terancam punah berdasarkan perundang undangan di Indonesia maupun daftar yang dikeluarkan oleh IUCN dan CITES. Sementara itu, Beehler, Pratt & Zimmerman (2001) juga mengelompokan kelompok unggas di Papua kedalam beberapa status persebaran seperti Endemik Papua (EP), Endemik Pulau Numfor (EPN) dan Endemik Pulau-pulau di Teluk Cenderawasih (EPTC). Selengkapnya mengenai unggas atau burung Di Pulau Numfor yang termasuk dalam daftar satwa yang di lindungi dapat dilihat pada Tabel

49 Tabel 13. Jenis Unggas Pulau Numfor dan Status Konservasinya. Famili Nama Spesies Nama Status Konservasi Frekunsi Umum IUCN CITES UU Alcedinidae Tanysiptera Cekakakpita numfor carolinae Banyak Dicruridae Dicrurus Srigunting hottentottus lencana Banyak Rhipidura Kipasan Rhipiduridae leucphrys kebun Banyak Aplonis Perling Strunidae cantoroides kicau Banyak Motacillia Motacilidae cinerea Kicuit batu Sedikit Rhyticeros Julang Sedang Bucerotidae plicatus Papua AB Nuri sayap Psittacidae Eos cyanogenia hitam Banyak Psittacidae Eclectus roratus Nuri bayan Banyak II AB Cacatua Kakatua Sedikit Psittacidae galerita koki II ABC Ducula Pergam Columbidae myristicivora rempah Sedang Pergam Columbidae Ducula pinon pinin Banyak Ptilinopus Walik dada Columbidae rivolia putih Sedikit Elang Accipitridae Haliastur indus Bondol Sedang Elang alap Accipitridae Accipiter mantel Sedikit novaehollandiae hitam Megapodiidae Megapodius Gosong freycinet Kelam Banyak Sumber : Laporan Taman Kehati Pulau Numfor, 2013 Katak Coklat (Platymantis papuensis) merupakan jenis endemik Papua yang dijumpai di dalam tapak Taman Kehati Pulau Numfor bersama dengan beberapa jenis herpetofauna yang lainnya seperti Kadal dan Biawak. Sebagian jenis herpetofauna tersebut termasuk di dalam daftar Satwa yang dilindungi berdasarkan SK Menteri Pertanian No.327 tahun 1973 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 (Tabel 14). Status Persebaran EPN EP EP EPTC EP 35

50 Tabel 14. Jenis Herpeto fauna yang di jumpai di Pulau Numfor Nama Umum Nama Spsies Famili Frekunsi Status Konservasi Katak Hujau Litoria infrafrenata Hylidae Banyak katak coklat Platymantis papuensis Hylidae Banyak AB Kadal Hijau pohon Lamprolepis smaragdina Scinsidae Banyak Kadal coklat Sphenomorpus simus Scinsidae Banyak Sphenomorpus jobiensis Scinsidae Banyak Kadal ekor biru Emoia caeruleocauda Scinsidae Banyak B Kadal coklat Emoia sp Scinsidae Banyak Naktus pelagicus Scinsidae Banyak B Biyawak Maluku Varanus indicus Varanidae sedang AB Keterangan : (A) SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1973. dan SK Menhut No.301/Kpts-II/1991. (B) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Kus-kus abu-abu (Phalanger gymnotis) adalah jenis mamalia dilindungi yang banyak dijumpai di kawasan taman Kehati Pulau Numfor. Sedangkan Kus- Kus bertotol (Spilocuscus moculatus) memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan P. gymnotis. Mamalia lain yang juga dijumpai dalam kawasan adalah Codot (Syconicteris australis; Nyctimene albiventer; Hipposideros sp), Babi hutan (Sus scrofa), Kalong minor (Dopsonia minor) dan Oposum lavan (Petaurus breviceps). Selengkapnya mengenai mamalia dilindungi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Jenis-Jenis Mamalia dilindungi di Pulau Numfor. Nama Spesies Nama Umum Famili Frekunsi Status Konservasi Phalanger gymnotis Kuskus abu-abu Phalangeridae Bayak AB Spilocuscus moculatus Kuskus bertotol Phalangeridae Sedikit AB Syconicteris australis Codot bunga Pteropodidae Banyak Nyctimene albiventer Codot tabung Pteropodidae banyak Hipposideros sp biasa Pteropodidae Banyak Sus scrofa Babi hutan Suidae Sedang Dopsonia minor Kalong Minor Pteropodidae Banyak Petaurus breviceps Oposum Layan Petauridae Sedang 36

51 Keterangan : (A) SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1973. dan SK Menhut No.301/Kpts-II/1991. (B) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. (Laporan Taman Kehati Numfor, 2013) Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Paradigma baru dalam pengelolaan hutan saat ini telah membuka peluang bagi pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang selama ini masih terabaikan. Hal ini mendorong terjadinya pergeseran nilai jasa lingkungan yang semula merupakan barang tak bernilai (non-marketable goods) bergeser ke barang bernilai (marketable goods). Tetapi perubahan paradigma tersebut harus diikuti oleh upaya perencanaan yang komprehensif, agar pemanfaatan jasa lingkungan tetap berada di dalam koridor pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Terdapat empat jenis jasa lingkungan hutan yang masuk mekanisme pasar di tingkat regional, nasional maupun internasional yaitu: 1. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai pengatur tata air (jasa lingkungan air); 2. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai perlindungan keanekaragaman hayati; 3. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon; 4. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan sebagai penyedia keindahan bentang alam (pariwisata alam). Obyek wisata dalam kawasan KPHL Biak Numfor tersebar pada beberapa RPH, yakni RPH Wari, RPH Napi dan Dasandoi, RPH Sorendi dan Mansoben. Obyek wisata di wilayah KPHL sebagian besar terdistribusi pada RPH Dasandoi I. Walaupun demikian masih terdapat beberapa obyek wisata alam yang dapat dikembangkan ke depan di wilayah kelola KPHL Biak Numfor. Tabel 16. Obyek Wisata di Kabupaten Biak Numfor Berdasarkan RPH Nama Daya Tarik RPH Obyek Wisata Alam: Hutan Lindung Warsa Flora dan Fauna RPH Wari Air Terjun Wapsdori Air Terjun RPH Napi dan Dasandoi Air Terjun Wafsarak Air Terjun RPH Wari Air Terjun Syordori (Mansoben) Air Terjun RPH Sorendi dan Mansoben, RPH Wari Pantai Wari Rekreasi Pantai RPH Wari 37

52 Nama Daya Tarik RPH Pantai Sansundi Peninggalan Manarmakkreri Sopen Telaga Oprsnondi Samares Rekreasi Pantai Rekreasi Budaya/Sejarah Telaga Berwarna Biru RPH Sorendi dan Mansoben, RPH Wari RPH Napi RPH Dasandoi 2 Sumber : RIPPDA Kabupaten Biak Numfor, 2006 dan Pembagian RPH KPHL, 2013 Aktivitas pariwisata di kawasan KPHL Biak masih didominasi oleh wisata alam berupa keindahan panorama alam. Gambar 8 Wisata Air Terjun Wafsarak di Distrik Warsa Gambar 9 Wisata Air Terjun Wapsdori di Distrik Biak Barat 38

53 Obyek wisata alam yang berlatar belakang budaya antara lain,dapat dijumpai pada mata air Mansar Manarmakeri di Kampung Sopen Distrik Biak Barat selain situs budaya Biak lainnya. Gambar 10. Situs Budaya Mansar Manarmakeri Kampung Sopen Distrik Biak Barat Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor perkembangan kunjungan wisatawan mancanegara(wisman) dan wisatawan Nusantara (Wisnu) sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2001 mengalami kecenderungan menurun (Gambar 11). Hal ini lebih banyak disebabkan karena peristiwa Tsunami yang melanda Biak dan sekitarnya, penutupan jalur penerbangan internasional yang berakibat pada penutupan fasilitas hotel bertaraf internasional (Hotel Marau). Padahal kontribusi Wisatawan mancanegara terhadap penerimaan asli daerah pada kurun waktu tersebut memberikan kontribusi yang besar. 39

54 Gambar 11 Perkembangan Kunjungan Wisatawan di Biak Numfor 2.3. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Demografi (Kependudukan) Kabupaten Biak Numfor terbagi ke dalam 19 Distrik dan 188 Kampung dengan jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2012 adalah jiwa dimana sebaran jiwa yang paling padat adalah Distrik Biak Kota sebanyak jiwa dan yang paling sedikit adalah Distrik Bondifuar sebanyak 221 jiwa. Jika dilihat dari jumlah jiwa dan kampung dalam distrik maka jumlah penduduk rata-rata setiap kampung yang tertinggi adalah Distrik Biak Kota dan yang terendah adalah Distrik Numfor Barat. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Distrik Biak Kota yang juga merupakan pusat pemerintahan kabupaten serta pusat perekonomian masyarakat adalah pusat dari aktivitas di Kabupaten Biak Numfor. Angka kepadatan penduduk di Biak Numfor rata-rata 59,44 jiwa/km 2. Angka ini secara detail belum memperhitungkan topografi wilayah yang dapat ditempati penduduk. Kepadatan penduduk di setiap distrik di kabupaten Biak Numfor berkisar antara jiwa/km 2. Suatu keadaan yang menunjukkan bahwa persebaran penduduk di wilayah ini relatif masih jarang, dimana pada setiap 100 ha hanya dihuni oleh 57 jiwa. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan di wilayah KPHL Biak Numfor dapat dilihat pada Tabel

55 Tabel 17. Luas Wilayah tiap Distrik, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan di KPHL Biak Numfor No Distrik Luas Rumah Penduduk Kepadatan ( Km2) Tangga (Jiwa) (Jiwa/Km2) 1 Numfor Barat 86, ,16 2 Orkeri 51, ,56 3 Numfor Timur 27, ,03 4 Poiru 73, ,75 5 Bruyadori 89, ,79 6 Padaido 20, ,09 7 Aimando 39, ,13 8 Oridek 158, ,17 9 Biak Timur 116, ,18 10 Biak Kota 42, ,96 11 Samofa 204, ,07 12 Yendidori 242, ,89 13 Biak Utara 215, ,87 14 Andey 119, ,56 15 W a r s a 131, ,92 16 Yawosi 108, ,37 17 Bondifuar 108, ,04 18 Biak Barat 220, ,87 19 Swandiwe 213, ,84 Jumlah 2.269, ,44 Sumber : Biak Numfor dalam Angka, Kepadatan penduduk tertinggi adalah di distrik Biak Kota (1.038,96 jiwa/km 2 ). Sedangkan distrik dengan kepadatan penduduk terkecil adalah Distrik Bondifuar (2,04 jiwa/km 2 ). Kondisi penduduk yang demikian memang relatif belum efisien untuk menyelenggarakan pemerintahan secara efektif, namun demikian diharapkan dengan adanya program pembangunan untuk membuka isolasi wilayah seperti akses jalan dan berkembangnya proses asimilasi dan akulturasi maka peningkatan penduduk diharapkan dapat terpacu terutama oleh adanya migrasi spontan penduduk. Distrik yang terdapat di Kabupaten Biak Numfor seluruhnya berada di dalam dan atau bersinggungan dengan kawasan KPHL Biak Numfor. Dilihat dari total jumlah kampung keseluruhan, yang tidak masuk wilayah KPHL Biak Numfor hanya sebanyak 19 yakni kampung-kampung yang merupakan bagian dari Distrik Biak Utara, Biak Timur dan Samofa. 41

56 Angka Ketergantungan Penduduk (AKP) Pengelompokkan penduduk menurut umur sangat penting guna mengetahui seberapa besar dari penduduk yang masih tergolong usia produktif dan usia non produktif. Proporsi antara usia produktif dan non produktif dapat mencerminkan angka ketergantungan penduduk. Komposisi penduduk menurut umur di Kabupaten Biak Numfor disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Angka Ketergantungan Penduduk di Kabupaten Biak Numfor Struktur penduduk di Kabupaten Biak Numfor didominasi oleh penduduk usia sedang (15-59 tahun) yaitu sebesar 80,91% diikuti oleh penduduk usia muda (0-14 tahun) sebesar 48,59% dan penduduk usia tua (60 ke atas) sebesar 5,40%. Dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan, populasi usia produktif akan meningkat sangat signifikan karena bergesernya usia muda saat ini. Dengan demikian, harus ada upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan penduduk untuk pembangunan. Keberadaan angkatan kerja dengan level tersebut di atas dapat dikatakan memadai dimana hal ini ditunjang oleh sarana prasarana pendidikan yang baik. Seperti diketahui bahwa Kabupaten Biak Numfor memiliki level pendidikan yang tinggi untuk Provinsi Papua. Untuk melihat lebih jauh, berikut disajikan data sarana prasarana pendidikan (Gambar 13). 42

57 Gambar. 13 Sarana Prasarana Pendidikan di Kabupaten Biak Numfor Sosial Budaya Penduduk asli Biak Numfor telah lama memiliki hubungan dengan orang-orang di Kerajaan Tidore di Maluku, orang-orang Seram, Ambon, Tidore, Sangir Talaud, Kei maupun Alor. Hubungan yang terjalin antara Biak dengan Tidore menyebabkan pemimpin Biak diberi gelar Dimara (Kepala Kampung) dan Korano (Pimpinan Adat). Pada kehidupan sehari-hari, saudara laki-laki ibu memainkan peranan yang penting dalam kehidupan orang-orang di Biak dan sekitarnya. Sosok paman menjadi pemimpin dan pelaku upacara inisiasi yang memang merupakan tahapan penting bagi masyarakat seperti misalnya : Upacara perkawinan adat (yakyaker) Upacara mengenakan baju pada anak kecil (famawar) Upacara memberi gelar (sabsider) sistem kekerabatan dan kepemimpinan tradisional Sistem kepemimpinan yang dapat diwariskan (manserenmau) Sistem kepemimpinan yang dapat diraih dengan kemampuan sendiri (mambri) Lembaga peradilan adat (kankain karkara) 43

58 Suku-suku di Kabupaten Biak Numfor sendiri tersebar di tiap kampung. Kesatuan sosial dan tempat tinggal yang paling penting bagi masyarakat Biak adalah KERET atau KLAN kecil. Suatu keret terdiri dari keluarga batih yang disebut SIM. Pada masa sekarang masing-masing keluarga batih mempunyai rumah sendiri, tetapi biasanya mereka berkelompok menurut keret. Tabel 18. Sebaran Suku di Kabupaten Biak Numfor No. Distrik Nama Suku Kampung No. Distrik Nama Suku Kampung 1. Biak Swapodibo Ambroben 8. Swandiwe Mandender Adadikam Kota Yenures Mardori Sorido Sorido Swainober Swainobar Saramon Amponbukor Samber Samber Sarwa 2. Yendidori Samber Urfu Worbiak Napdori Waroi 9. Biak Sopen Mamoribo Pnasifu Adoki Barat Dedifu Moibeken Opuri Syabes Syabes Dansi, Sosmai Nudu 3. Oridek Adibu Wadibu Atas Sopin Andey Wadibu 10. Bruyadori Marian Mandori Bawah Anggopi Mandeder Inasi Wandibru Opiaref Dafi 4. Biak Undei Soon Mandori Timur Sundey 11. Numfor Sopin Piyepuri Sundey Sundey Timur Yemburwo Wandibru Kajasi 12. Poiru Sopin Manggari 5. Biak Arwam Arwe Samber Bawei Utara 6. Yawosi Napu Mara Saribi 7. Orkeri Samber Yenbeba 13. Numfor Numfor Namber Numfor Wansra Barat Warido Pakreki 14. Warsa Manwor Ambenparen Sumber : RTRW Kabupaten Biak Numfor Berdasarkan Tabel 14 di atas terlihat bahwa suku yang wilayah penyebarannya banyak adalah suku Samber. Suku ini mendiami wilayahwilayah seperti kampung Samber, Urfu, Yenbeba dan Bawei. Sedangkan suku-suku lainnya mengumpul pada kampung-kampung tertentu yang kebanyakan penamaan kampung tersebut berdasarkan nama suku masing- 44

59 masing, misalnya suku Syabes mendiami Kampung Syabes, suku Sundey Mendiami Kampung Sundei, suku Numfor mendiami wilayah Kampung Numfor Tipologi Masyarakat Sekitar Hutan di Kabupaten Biak Numfor Tipologi kehidupan masyarakat Biak Numfor baik di dalam maupun di sekitar hutan sangat dipengaruhi oleh hubungan ketergantungan masyarakat terhadap hutan serta hak dan tanggungjawab yang dimiliki. Masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor yang mendiami wilayah pesisir dan dataran rendah secara umum dibagi dalam dua kelompok yaitu : a. Para Petani sekitar hutan (forest farmers) yaitu penduduk di dalam dan sekitar hutan yang hidup menetap dalam suatu kampung (termasuk kampung tua yang dibentuk oleh orang-orang tua) dengan mata pencaharian utama sebagai petani tradisional. Selain sebagai petani ada juga yang hidup dari kerajinan/tukang dan berdagang skala mikro dan sebagai nelayan. Masyarakat ini masih sangat erat hubungannya dengan hutan, tetapi juga tergantung dari sumber-sumber lainnya. Hasil yang diambil diperoleh dari hutan dimanfaatkan untuk kepentingan konsumtif semata (subsisten) atau dijual pada pasar lokal. Selain hasil hutan, tipe masyarakat ini juga memanfaatkan sumberdaya laut dan sungai dalam memenuhi kebutuhan protein hewani dengan alat tangkap yang sederhana sampai semi modern. Hasil yang diperoleh dimanfaatkan untuk kepentingan konsumtif dan sebagian dijual untuk menambah penerimaan keluarga. Dari sisi adat sangat kuat memegang adat dan kebudayaan tradisional serta mempertahankan diri dalam kelompok komunal. b. Pemburu (Hunters) dan Peramu (Gatheres) hasil hutan. Kelompok masyarakat ini sering diistilahkan juga sebagai penghuni hutan (Forest dwellers) (von Maydell, 1998; Mc Dermott, 1989). Secara umum hasil yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Kelompok ini dapat dikatakan sebagai komponen alami dari ekosistem hutan karena sudah turun temurun tinggal di dalam hutan. Interkasi terhadap lingkungan sifatnya marjinal, dikarenakan populasi dan kebutuhannya masih terbatas. Dari sisi adat sangat kuat 45

60 memegang adat dan kepercayaan tradisional serta mempertahankan diri dalam kelompok komunal. Masyarakat suku Biak dalam kehidupan kesehariannya terlibat dengan 2 kondisi ekosistem, yaitu keterikatan dengan tanah dalam kegiatan pertanian dan laut dalam kegiatan perikanan. Keterikatan pada kedua ekosistem ini telah membentuk pengalamam-pengalaman sosial maupun budaya dan menuangkan dalam berbagai peraturan-peraturan adat yang mengikat untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam tersebut. Suku Biak menganggap bahwa sumber daya alam lahan dan perairan merupakan anugerah pemberian Tuhan kepada mereka didalam kelangsungan hidup mereka Hak Kepemilikan dan Pola Pemanfaatan Hutan Hak Kepemilikan (Property right) Hak bukanlah satu jenis, melainkan beberapa jenis (bundle of rights). Setidaknya dalam kalangan masyarakat adat Biak Numfor terdapat hak memanfaatkan, hak menentukan bentuk manajemen, hak mengundang pihak lain untuk ikut memanfaatkan dan hak untuk mengubah fungsi. Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya hutan. Kepemilikan tanah di Biak merupakan milik bersama (komunal), namun didalam pengambilan hasil atas tanah adat tersebut dibagi-bagi untuk masing-masing anggota keret sehingga tidak terjadi saling rampas pengelolaan sumber daya alam. Penandaan batasan tanah yang telah dijadikan lahan antar keret tersebut biasanya ditandai dengan batasan alam seperti batu, pohon dan sungai. Pemindahan dan penyerahan hak tanah adat dan hutan dari keret yang satu kepada keret yang lain masih dapat dimungkinkan namun memiliki peluang yang sangat kecil, karena pandangan masing-masing keret yang menilai hutan dan lahan sebagai anugerah yang harus dijaga dan dikelola. 46

61 Masyarakat Biak Numfor sebagian besar memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai peramu dan pemburu. Masyarakat ini kebanyakan mendiami distrik-distrik yang berada di wilayah dataran rendah. Sedangkan masyarakat di wilayah pesisir pantai lebih dominan dalam usaha nelayan, pertanian tradisional, tukang/kerajinan dan sebagian kecil memanfaatkan hasil hutan bukan. Mansoben (2002) membagi hak kepemilikan dan penguasaan wilayah adat pada masyarakat Papua dalam 3 kelompok yaitu hak komunal berdasarkan gabungan klen, hak komunal menurut klen dan hak individual. Hak kepemilikan lahan yang dimaksud merupakan hak kepemilikan untuk semua sumberdaya baik tanah maupun tumbuhan yang berada di atasnya yang dimiliki pemilik lahan. Tabel 19. Efisiensi Kepemilikan Atas Sumberdaya lahan/tanah dan Sumberdaya Alam di Kabupaten Biak Numfor Strata Hak Pemilik (Owner) Pemilik terikat (Proprietor) Memasuki dan Memanfaatkan Menentukan Bentuk Pengelolaan Menentukan Keikutsertaan/Mengeluarkan Pihak lain Dapat diperjualbelikan hak (Alienation) X X X Keterangan : = boleh x = tidak boleh Pemilik (owner) memiliki hak penuh atas lahan yang dimilikinya sehingga disimpulkan bahwa efisiensi hak kepemilikan lahan untuk pemilik (owner) adalah adalah efisien. Hal tersebut disebabkan karena hak kepemilikan lahan yang dimiliki masyarakat merupakan hak turun temurun sehingga pemilik (owner) dapat melakukan apapun di lahan yang dimilikinya. Hak memasuki dan memanfaatkan diberikan kepada pemilik terikat (Proprietor) ketika proprietor memiliki hubungan dengan pemilik 47

62 seperti hubungan perkawinan. Masyarakat mengelola lahan yang dimilikinya sendiri tanpa disewakan ataupun diberikan kepada pengguna. Pola kepemilikan dan penguasaan lahan yang dianut oleh masyarakat merupakan sistem pewarisan. Hal ini juga sama dengan yang berlaku dikalangan masyarakat adat yang mendiami wilayah pesisir lain di Tanah Papua. Dimana pengaturan pemanfaatan diatur oleh kepala klen dengan anggapan bahwa sumberdaya alam yang ada merupakan milik klen yang diwariskan turun temurun pada suatu marga (klen). Hal tersebut terlihat dengan adanya pembagian tanah ulayat per marga sehingga setiap marga memiliki suatu daerah yang merupakan hak ulayatnya. Oleh karena itu, owner memiliki hak penuh atas lahan yang dimilikinya karena setiap marga (Klen) telah memiliki tanah ulayat masing-masing. Efisiensi hak kepemilikan sangat menguntungkan masyarakat dalam rencana pembangunan kehutanan di Biak Numfor. Dimana tidak diperlukan pihakpihak di luar pemilik (owner) dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan tersebut kecuali Pemerintah. Selain itu, menjadi landasan tumbuhnya rasa memiliki terhadap sumberdaya hutan. Pola Pemanfaatan Hutan Biak Numfor memiliki potensi sumberdaya lahan dan hutan yang cukup luas untuk dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, namun hampir seluruhnya belum dimanfatkan sebagai lahan usaha pertanian yang menjadi sumber utama pendapatan keluarga. Belum dimanfaatkannya sumberdaya lahan hutan tersebut karena penduduk wilayah ini bukan masyarakat petani yang orientasi usahanya untuk kepentingan bisnis (lihat tipologi masyarakat), namun masyarakat untuk kepentingan konsumtif (subsisten). Masyarakat kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya daratan, baik sebagai petani tradisional, pemburu dan peramu ataupun nelayan pesisir tradisional dengan alat tangkap yang sangat sederhana sampai semi modern. Dalam pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian masyarakat di Biak Numfor sifat pertaniannya adalah pertanian menetap dan perladangan berpindah. Kebun-kebun rakyat kebanyakan berupa kebun-kebun tua di 48

63 sekitar pemukiman atau tempat tinggal yang ditanami dengan campuran beberapa jenis tanaman. Tanaman-tanaman jangka pendek seperti ubi-ubian, palawija dan sayuran diusahakan oleh sebagian kecil penduduk ditanam secara campuran di lahan-lahan kecil berukuran 2 3 m hingga 5 20 m dengan memanfaatkan lahan pekarangan di sekitar rumah atau lahan kosong di sekitar pemukiman di sekitar perkampungan dan wilayah kelola milik marga atau klen. Di samping itu, penduduk juga memanfaatkan dusundusun sagu, baik yang tumbuh secara alami maupun yang ditanam untuk diekstraksi menjadi tepung sebagai bahan makanan pokok (papeda). Kondisi lahan yang kurang subur menyebabkan beberapa hasil-hasil pertanian tidak dapat berpoduksi secara optimal. Pemanfaatan hutan yang ada dikawasan hutan KPHL Biak Numfor bersama masyarakat adat adalah berupa Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas ha dan Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas) Supmasi seluas ha berlokasi di Makmakerbo. Ketergantungan Masyarakat Terhadap Hutan Ketergantungan masyarakat terhadap hutan berada dalam kategori rendah sampai dengan tinggi sebagaimana terlihat pada Gambar 14. Sebagian besar penduduk yang hidup diwilayah pesisir maupun pinggiran hutan memiliki tingkat ketergantungan sedang sampai tinggi. Gambar 14 Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Hutan Tingkat ketergantungan ini tidak sebatas pada aspek produksi hutan dan lahan hutan, tetapi juga fungsi perlindungan dan fungsi tata klimat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung 49

64 dari ekosistem hutan dalam mempertahankan hidup (existence) dan peningkatan kesejahteraan (welfare). Masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan adalah masyarakat yang hidup di wilayah-wilayah seperti Distrik Biak Timur, Oridek,Yendidori, Biak Utara, Warsa, Swandiwe dan Orkeri. Pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat tetap berada dalam batas resiliensi sumberdaya hutan, hal ini sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat yang begitu mempengaruhi pola pemanfaatan. Dilihat dari sisi akses ke dalam kawasan hutan tidak ada pembatasan selama berada dalam batas-batas wilayah kelola masyarakat adat yang bersangkutan. Pola ketergantungan yang demikian memberikan gambaran hubungan yang disebut Pola Ekstraksi (Soemarworo, 1989; Sardjono, et all 1998, Sardjono, 2004). Berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat dari pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan. Bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan ini sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dimulai sejak masyarakat secara berkelompok hidup pada masa meramu dan berburu, ketergantungan tersebut berjalan terus walaupun budidaya tanaman dan domestikasi hewan telah mulai dikenal. Bahkan saat masyarakat membentuk perkampungan dan hidup dalam suatu wilayah administrasi yang defenitif secara jelas ketergantungan tersebut tetap dapat disaksikan apalagi wilayah Biak Numfor memiliki 66% kawasan lindung. Namun saat ini orientasi dan motivasi ketergantungan terhadap hutan senantiasa berubah seiring dengan keterbukaan wilayah, perkembangan budaya dan perekonomian masyarakat. Banyak bukti telah terjadi pergeseran orientasi dan motivasi ketergantungan terhadap kawasan hutan, dimana masyarakat yang hidup di wilayah pesisir pantai dan dataran rendah yang dekat dengan pusat pemerintahan dan ibukota tingkat ketergantungannya makin menurun (rendah sampai sedang) karena aktivitas ekstraksi sumberdaya sebagian telah diganti dengan aktivitas-aktivitas produksi yang padat modal dengan tingkat migrasi dari luar yang relatif tinggi. Dampaknya bahwa struktur dan fungsi hutan mengalami degradasi karena upaya rehabilitasi dan pemeliharaan kurang diperhatikan. Pola ketergantungan 50

65 seperti ini disebut pola eksploitasi (Soemarworo, 1989; Sardjono, et all 1998, Sardjono, 2004). Jadi secara umum masyarakat di Kabupaten Biak Numfor memiliki dua pola hubungan ketergantungan dengan hutan yaitu ekstraksi dan pola eksploitasi. pola Dari kawasan hutan KPHL Biak Numfor masyarakat banyak mendapatkan manfaat dari mengambil hasil-hasil hutan. Berdasarkan hasil penelitian di Kampung Auki Distrik Padaido terdapat 60 jenis tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan masyarakat (Fatubun, 2003). Jenis-jenis tumbuhan berkayu tersebut yang digunakan sebagai bahan makanan sebanyak 18 jenis, bahan bakar 6 jenis, bahan pembuatan alat-alat rumah tangga 13 jenis, 26 jenis digunakan dalam kegiatan pertanian, berburu, nelayan dan transportasi, magis 2 jenis, bahan bangunan 20 jenis, sebagai bahan pembuatan obat-obatan 12 jenis dan untuk bahan pembuatan alat seni dan kerajinan 11 jenis. Tabel 20. Berbagai Manfaat yang diperoleh Masyarkat Biak Numfor dari Sumberdaya Hutan di Sekitarnya Fungsi Hutan Manfaat Bagi Masyarakat Langsung Tidak Langsung Produksi Hasil Hutan Kayu dan tururnannya (konstruksi berat, atap/dinding, kayu bakar/arang) Hasil Hutan Bukan Kayu (Buah-buahan, biji-bijian, sayauran, gaharu, getah, damar, buah merah,rotan, bambu, binatang buruan Areal untuk berkebun dan memancing Lindung/Ko nservasi Selain hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu ada manfaat Kesuburan tanah, tata air untuk air bersih, perlindungan banjir dan kekeringan Keanekaragaman hayati (Flora, Fauna, Mikro Sumber penghasilan (semi komersil dan komersil) Pelestarian budaya masyarakat ysng berbasis produk hutan Menjamin produktivitas pertanian masyarakat Kesehatan dan kesejahteraan hidup Pelestaria pengetahuan dan teknologi tradisional a.l. budidaya, berburu binatang, sistem pemanenan 51

66 organisme) Seperti berbagai jenis burung dan tanaman angrek Tata Klimat Iklim Mikro (kesejukan, dan curah hujan lokal) Udara bersih (Penghasil oksigen dan menyerap karbondioksida) Sinar matahari Polusi udara Lain-lain Batas alam untuk menandakan tanah adat/pemilikan lahan Perlindungan tempat-tempat keramat/dihormati Kenyamanan dan kedamaian kehidupan di kampung Mendukung kehidupan yang sehat dan sejahtera Mengurangi dampak bencana alam Mendukungan pelestarian identitas kelembagaan lokal Melestarikan etika konservasi dan pergaulan hidup antar anggota masyarakat 2.4. Izin Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan Kawasan hutan Biak Numfor pada saat ini belum memiliki izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan masih dalam skala tradisional untuk kebutuhan lokal masyarakat hukum adat yang ada di dalam atau sekitar kawasan hutan Posisi KPHL Biak Numfor dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah Kabupaten Biak Numfor dan Pembangunan Daerah Dalam prespektif tata ruang Provinsi Papua, di wilayah KPHL Model Biak Numfor ada beberapa arah pengembangan komoditas tertentu yang akan dikembangkan di beberapa lokasi. Beberapa arah pengembangan komoditas tersebut antara lain adalah : 1. Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan perlindungan dan produksi yang dilakukan terutama pada fungsi kawasan hutan lindung dan daerah yang bertopografi sulit seperti di Distrik Bondifuar, Warsa dan Biak Utara dengan arahan tetap bervegetasi alami. Untuk produksi kehutanan lokasi yang direncanakan adalah di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Biak yakni di Distrik Biak Timur, Kampung Soon, Kampung Sauri dan sebagian hutan produksi. Di wilayah Samaras yakni di Distrik Biak Utara, sekitar Kampung Warsansan. 52

67 2. Untuk wilayah pengembangan komoditas perkebunan dengan jenis tanaman tahunan (skala besar) diarahkan pada beberapa lokasi di Distrik Bondifuar, Warsa, Swandiwe, Yendidori, Biak Barat, Oridek dan Biak Timur. 3. Wana tani/budidaya lorong dengan jenis komoditas kelapa sawit, karet, kelapa dan palawija. Lokasi yang disasar meliputi hampir sebagian besar wilayah KPHL Biak Numfor. 4. Sektor perikanan yang dipusatkan di Pulau Numfor, yakni Distrik Bruyadori dengan jenis perikanan pantai dan tambak dengan komoditas unggulan udang dan bandeng. Daerah yang menjadi sasaran merupakan kawasan lindung sehingga diarahkan untuk menjaga vegetasinya tetap alami yakni mangrove (bakau, pedada, api-api). Lokasinya di Kampung Kornasoren, Distrik Numfor Timur, Kampung Yenmanu, Distrik Numfor Barat, Kampung Wansra Distrik Orkeri, Kampung Bruyadori, Dafi, Sandau dan Mandori di Distrik Bruyadori. 5. Pariwisata berupa agrowisata yang menyajikan keasrian kehutanan pantai di Kampung Sareidi dan Wasori Distrik Biak Timur. Selain itu terkait dengan tugas dan fungsi pokok KPH terdapat beberapa hal yang secara langsung diatur dalam rencana tata ruang tersebut. Kawasan lindung dan kawasan produksi yang menjadi ruang lingkup kerja KPH dapat diatur dalam RTRW Kabupaten Biak Numfor. Kawasan Lindung Kawasan lindung di Kabupaten Biak Numfor terdiri dari: kawasan hutan lindung, kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, kawasan suaka alam - pelestarian alam - cagar budaya, kawasan perlindungan setempat, kawasan lindung geologi, dan kawasan lindung lainnya. Arahan kawasan lindung di Kabupaten Biak Numfor adalah sebagai berikut: a. Kawasan Hutan Lindung Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan lindung merupakan kawasan yang 53

68 ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna pembangunan berkelanjutan. b. Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas kawasan bergambut dan kawasan resapan air. Kabupaten Biak Numfor tidak memiliki kawasan bergambut. Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan. Sebagian besar Pulau Biak, Pulau Numfor dan Kepulauan Padaido merupakan wilayah air tanah karst. Karst merupakan batu gamping yang telah mengalami pelarutan. Proses pelarutan dan peresepan air pada batuan terutama karbonat, membentuk aneka bangun karst (eksokarst) di permukaan, seperti bukit, dolina, uvala dan polye dan di bawah permukaan tanah berkembang sistem (endokarst) di antaranya bentuk gua, sungai bawah tanah dan speolotem. Mata air yang muncul dan merupakan sungai di bawah tanah terdapat di Teluk Urfu dan di dekat Kampung Rimpram, mata air Ruar pada jalan lintas Biak Bosnik. c. Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan perlindungan setempat terdiri dari sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal lainnya dan ruang terbuka hijau perkotaan. Kawasan Sekitar Mata Air Perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air dilakukan untuk melindungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya. Kawasan sekitar mata air merupakan kawasan tertentu di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian mata air. Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air. 54

69 Mata air di Kabupaten Biak Numfor meliputi Mata Air Ruar (Desa Anggraedi, Distrik Biak Kota), Mata Air Opiaref (Desa Opiaref, Distrik Biak Timur), Mata Air Owi (dilepas pantai Pulau Owi Kepulauan Padaido), Mata Air Rarmpin (Desa Urfu, Distrik Yendidori), Mata Air Parai Distrik Biak Timur. Sumber air ini digunakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Biak Numfor untuk memenuhi kebutuhan air lokal masyarakat. Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Kawasan perkotaan Biak Numfor merupakan perkotaan kecil yakni kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dihuni paling sedikit jiwa dan paling banyak jiwa. Sebagai ibukota Kabupaten Biak Numfor, saat ini tercatat berpenduduk lebih kurang jiwa, dan diperkirakan akan mendekati jiwa dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang. Sebagai pusat aktifitas jasa dan perdagangan, dengan pendukung utama sektor pariwisata dan perikanan, pengembangan kawasan perkotaan Biak perlu diarahkan secara terpadu. Penentuan ruang terbuka hijau menjadi bagian yang penting dalam mewujudkan kota jasa dan perdagangan yang ramah lingkungan. Ruang terbuka hijau perkotaan Biak diarahkan mencapai 60% dari luas wilayah perkotaan, atau kurang lebih ha. Luas RTH Kabupaten Biak Numfor yang saat ini mencapai 60% perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Berdasarkan regulasi yang ada RTH di Kota dengan kepadatan bangunan sedang seperti Biak ini harus tersedia minimal 15% RTH. Hal ini tidak berarti bahwa RTH di Biak dapat diturunkan sampai angka tersebut ada hal yang perlu dipertimbangkan yakni masalah ketersediaan sumber air. RTH sangat berkaitan dengan ketersediaan air bersih, semakin banyak RTH akan meningkat daya serap air sehingga sumber air tetap terjaga dengan baik. Pantai Berhutan Bakau Kawasan pantai berhutan bakau merupakan kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberikan perlindungan untuk kehidupan di pantai dan laut. Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya 55

70 berbagai biota laut di samping sebagai pelindung pantai dari abrasi akibat gelombang air laut serta pelindung usaha budidaya lainnya. Kawasan mangrove berada di Distrik Poiru, Bruyadori, Orkeri, dan Numfor Barat, Numfor Timur, seluruhnya lebih kurang 5.863,36 ha dan ada sebagian kecil penyebarannya terdapat di bagian barat dan timur Pulau Biak. Kawasan Rawan Abrasi Kawasan yang memiliki potensi erosi pantai adalah daerah bagian utara, barat dan selatan Pulau Biak, terutama di Distrik Swandiwe, Biak Barat, Yendidori dan Biak Kota. Potensi pengurangan garis pantai terjadi di bagian barat khususnya Pantai Wardo dan sebagian daerah barat daya Pulau Numfor. Selain itu tahun 2012 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam tahun anggaran 2012 membangun talud penahan abrasi air pasang laut sepanjang mencapai 500 meter lebih di daerah rawan bencana alam di Kampung Opiaref Distrik Oridek. Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, baik hasil hutan kayu maupun non kayu. Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas kawasan peruntukan hutan produksi terbatas (HPT), kawasan peruntukan hutan produksi tetap (HP), dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Kabupaten Biak Numfor memiliki HPT dan HP. Penentuan HPT dan HP di Kabupaten Biak Numfor pada prinsipnya tidak mengubah ketentuan dalam Kawasan Hutan dan Perairan. a. Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara , di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru. HPT di Kabupaten Biak Numfor mencakup lahan seluas ,13 ha, berada di Distrik Swandiwe, Biak Barat, Yendidori, Andey Dalam, Biak Utara, 56

71 Samofa, Biak Timur, Oridek, Numfor Timur, Numfor Barat, Poiru, Swandiwe dan Andey Dalam. b. Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Tetap adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125, di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Hutan Produksi di Kabupaten Biak Numfor mencakup lahan seluas ,55 ha, berada di Distrik Samofa, Biak Timur, Oridek dan di Kepulauan Padaido Distrik Padaido dan Aimando Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan Isu-isu strategis pembangunan KPHL Biak Numfor merupakan permasalahan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan visi, percepatan penyelenggaraan misi dan pencapaian tujuan rencana pengelolaan KPHL Biak Numfor dideskripsikan berdasarkan beberapa aspek sebagai berikut : Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (SWOT- Analisis) Untuk mengidentifikasi isu-isu strategis rencana pengelolaan KPHL Biak Numfor dilakukan analisis lingkungan internal dan eksternal menggunakan instrumen analisis SWOT. Lingkungan Internal terdiri dari Kekuatan (Strength) dan Kelemahan (Weakness) dan lingkungan Ekternal terdiri dari Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threat). Keempat elemen tersebut dikenal sebagai Faktor Kunci Keberhasilan (Critical Success Factors). Berdasarkan faktor kunci keberhasilan tersebut ditetapkan Isu-Isu Strategis yang dianalisis berdasarkan interaksi faktor-faktor internal dan ekstenal KPHL Biak Numfor. Hasil analisis kekuatan-kelemahan dan peluang-ancaman KPHL Biak Numfor pada kondisi 2014 seperti disajikan pada Tabel

72 Tabel. 21. Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Rencana Pengelolaan KPHL Biak Numfor Faktor Internal Faktor Eksternal Strengths (S) Weaknesses (W) Opportunities (O) 1. Potensi hasil hutan 1. Peta Tata Ruang 1. Kebijakan kayu, bukan kayu dan Kehutanan dan batas penerapan hasil hutan ikutan lain kawasan hutan masyarakat KPH pada relatif masih tinggi adat belum ada setiap fungsi 2. Organisasi KPH telah 2. Kelembagaan terbentuk dan KPHLBiak belum memiliki kedudukan efektif dan efisien sejajar dengan SKPD 3. Sumberdaya KPHL lain (fasilitas dan 3. Terdapat keindahan sumberdaya manusia) bentang alam dan masih terbatas peninggalan budaya 4. Data potensi hasil yang unik hutan kayu dan bukan 4. Komitmen kayu di setiap fungsi pemerintah daerah kawasan belum tersedia relatif tinggi untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan bidang kehutanan 5. Sistem pemukiman dan pemilikan ulayat menyebar secara komunal 6. Kepemimpinan adat dan hak masyarakat masih berlaku di beberapa wilayah distrik dan kampung 7. Sebagian besar masya-rakat menggantungkan hidup dari bertani, meramu dan berburuhasil hutan 8. Terdapat usaha-usaha pemungutan tradisional hasil hutan. 5. Regulasi pendukung bidang kehutanan terkait dengan perizinan, retribusi dan hak masyarakat adat belum tersedia baik pada setiap tataran pemerintahan 6. Pemungutan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat belum terorganisir 7. Kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan dan lahan sangat terbatas 8. Kerjasama lembaga masyarakat dan koordinasi program dengan instansi terkait belum mantap, masih sektoral hutan 2. Terbukanya akses masyarakat dan kewenangan Pemda dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat 3. Minat investasi sektor kehutanan tinggi 4. Kerjasama dengan pihak luar terbuka luas untuk penelitian dan pengembangan dalam pengelolaan hutan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat 5. Program REDD+ dilaksanakan pada KPH ruang Threats (T) 1. Terdapat tumpang tindih kewenangan antar sektor kehutanan dan non kehutanan 2. Wilayah kelola masyarakat hukum adat belum dilegitimasi dan belum ada peta tata batas kawasan hutan 3. Rendahnya pendidikan dan taraf hidup masyarakat sekitar kawasan 4. Kegiatan Pemanenan Kayu Secara illegal 58

73 Faktor Internal Kekuatan ( Strength- S) 1. Potensi hasil hutan kayu, bukan kayu dan hasil hutan ikutan lain relatif masih tinggi Rata-rata potensi pohon masak tebang komersil dan non komersil sebesar 47,46 m 3 /ha yang tersedia diolah untuk memenuhi kebutuhan kayu lokal. Secara umum potensi kayu komersil yang ada di wilayah KPHL Biak Numfor per hektarnya sangat rendah (1,31 m 3 /ha). Jenis kayu yang menjadi primadona masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pembangunan lokal adalah merbau. Potensi merbau per hektar di kepulauan Padaido untuk semai 2080 individu/hektar, pancang (12,8 individu/hektar) dan pancang (4 individu/hektar) (Tokede et all, 2006). Potensi hasil hutan bukan kayu unggulan di Biak Numfor adalah rotan, gaharu, dan bambu. Berdasarkan hasil penelitian Simyapen (2007) bahwa potensi jenis rotan yang terdapat pada kawasan hutan pulau Meosmangguandi terdiri dari empat jenis yang tumbuh alami di pulau tersebut. Penamannya menurut bahasa ilmiah dan bahasa daerah (bahasa biak) yaitu: Calamus Sp1 (Warar), Calamus Sp2 (Waneren ), Calamus Sp3 (Warsam) an Calamus Sp4 (Say). Jenis rotan yang tumbuh dominan pada tingkat semai adalah: jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya adalah 103,3782 % sedangan jenis yang paling jarang pada kawasan hutan pulau Meosmanggaundi, yaitu jenis Calamus Sp 4 dengan Indeks Nilai Pentingnya adalah: 13,4509 %. Pada tingkat rotan remaja jenis rotan yang tumbuh dominan adalah jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya sebesar: 186,7979 % sedangkan jenis yang paling jarang adalah jenis Calamus sp4 dengan Indeks Nilai Pentingnya yaitu 8,1503%. Sedangkan pada rotan tingkat dewasa jenis yang paling dominan adalah jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya yaitu: 173,3595 % sedangkan yang paling jarang adalah Calasmus sp4 dengan Indeks Nilai pentingnya sebesar 12,6668 %. Sedangkan jenis-jenis bambu yang terdapat pada kawasan hutan Kampung Amoi Biak Utara ditemukan ada 7 (tujuh) jenis bambu yang 59

74 terdiri dari 3 (tiga) marga yaitu Bambusa vulgaris var. vulgaris, Shizosthacyium brachyladum, Schizostachyum, Zollingeri, Bambusa vulgaris striata, Neololeba atra, Schizostachyum lima, Shizostachyum blumei. Jenis-jenis bambu tersebut dimanfaatkan untuk bahan konstruksi, perabot rumah tangga, alat berburu, alat musik, bahan kerajinan, tanaman hias dan bahan makanan. Jenis yang paling banyak dimanfaatkan oleh Masyarakat Kampung Amoi Distrik Warsa Kabupaten Biak Numfor adalah Bambusa vulgaris var vulgaris, masyarakat banyak memanfaatkan karena jenis ini mudah didapatkan dan banyak tersedia pada kawasan hutan Kampung Amoi. 2. Organisasi KPHL telah Terbentuk dan Memiliki Kedudukan Sejajar dengan SKPD lain Organisasi KPHL Biak Numfor telah dibentuk dan memiliki kedudukan sebagai suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berdasarkan peraturan daerah (PERDA) Kabupaten Biak Numfor Nomor 28 Tahun Pegawai negeri sipil maupun tenaga honorer yang bekerja di KPHL Biak Numfor sebanyak 12 orang dengan jabatan 1 (satu) orang Kepala KPHL, 1 orang Kepala Sub Bagian Tata Usaha, 11 orang sebagai tenaga kontrakdari Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, 3 orang tenaga kontrak dari Kementerian Kehutanan (SKMA), 1 orang tenaga Basarhut dan 2 orang tenaga kontrak dari KPHL Biak Numfor. 3. Terdapat Keindahan Bentang Alam dan Peninggalan Budaya yang Unik Wilayah KPHL Biak Numfor memiliki keindahan bentang alam dan peninggalan budaya serta sejarah yang potensial untuk menjadi obyekobyek wisata unggulan. Wilayah pengelolaan KPHL Biak Numfor memiliki jasa lingkungan hutan yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam mendukung terwujudnya visi Biak sebagai kota jasa. Dari 26 Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) yang potensial di wilayah KPHL Biak Numfor, wisata alam sangat dominan memberikan peran besar dimana terdapat 19 ODTW untuk tujuan wisata alam. Selain itu, 60

75 terdapat 2 (dua) ODTW berupa wisata budaya dan 6 (enam) ODTW wisata sejarah. 4. Komitmen Pemerintah Daerah Tinggi untuk Meningkatkan Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pembangunan Bidang Kehutanan Komitmen pemerintah daerah Biak Numfor dalam meningkatkan perekenomian di sektor kehutanan terlihat dengan adanya pemberian dukungan yang penuh terhadap pembentukan KPHL Biak Numfor sebagai KPHL Model di Indonesia, dengan status sama sebagai suatu SKPD. Kebijakan ini konsekuensi logisnya adalah bahwa pemerintah daerah Biak Numfor harus memberikan dana dari APBD untuk mendorong pelaksanaan tugas-tugas KPHL Biak Numfor. Selain itu, pemerintah daerah juga memberikan dukungan dana untuk upaya-upaya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui dana APBD melalui Dinas Kehutanan, dan dinas-dinas lain yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan kehutanan. 5. Sistem Pemukiman dan Pemilikan Ulayat Menyebar Secara Komunal Sistem pemukiman dan pemilikan hak ulayat masyarakat adat menyebar secara komunal. Kondisi ini merupakan kekuatan karena akan sangat memudahkan penataan sistem pengelolaan kawasan hutan baik menyangkut pemanfaatan kawasan hutan untuk pemukiman maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Melihat kondisi ini, pemetaan partisipatif untuk menentukan areal kelola masyarakat adat akan menjadi lebih mudah dilakukan dan tidak menimbulkan biaya yang besar. 6. Kepemimpinan Adat dan Hak Masyarakat Masih Berlaku di beberapa Wilayah Distrik dan Kampung Struktur sosial masyarakat Biak telah menunjukan adanya tingkatan atau lapisan sosial masyarakat, yaitu Manseren/Supriman, Mandaman dan budak. Manseren/Supriman adalah kelompok-kelompok kerabat dan keluarga yang merupakan keturunan dari orang-orang yang pertama menduduki suatu wilayah dan membuka ladang-ladang, sehingga memiliki hak kepemilikan yang kuat. Lapisan kedua adalah keluarga yang 61

76 merupakan keturunan dari orang yang datang kemudian di wilayah nenek moyang Manseren. Sedangkan budak-budak adalah keturunan dari orangorang yang di tangkap dalam peperangan. Lapisan sosial seperti ini pada beberapa kampung masih terlihat jelas, namun sebagian besar telah mengalami akulturasi sehingga tidak nampak adanya pelapisan tersebut. Dengan adanya lapisan sosial ini maka kekuatan hak kepemilikan dari suatu keret atau marga menjadi jelas dan tidak akan menimbulkan konflik kepemilikan sehingga property right masyarakat adat menjadi lebih efisien karena semakin banyaknya syarat hak kepemilikan yang dapat dipenuhi. Kuatnya hak kepemilikan dapat membatasi masuknya free rider (penunggang bebas) dan rent seeking ( pencari rente) serta kaum oppurtunistik di tengah kehidupan masyarakat. 7. Sebagian Besar Masyarakat Menggantungkan Hidup dari Bertani, Meramu dan Berburu Hasil Hutan Komposisi penduduk menurut mata pencaharian dapat menggambarkan aktivitas penduduk dalam memenuhi kehidupannya. Aktivitas tersebut seperti penduduk yang penghidupannya sebagai petani, nelayan, pedagang, jasa, pegawai, buruh, dsb. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Biak Numfor terutama yang bertempat tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan KPHL Biak Numfor adalah berladang dan menangkap ikan. Mata pencaharian menangkap ikan banyak dilakukan terutama oleh penduduk yang bertempat tinggal di Kepulauan Padaido dan Biak Timur. Sedangkan mata pencaharian penduduk yang tinggal di perkotaan lebih beragam, diantaranya sebagai Pegawai Negeri Sipil (guru), pegawai pemerintah, pegawai swasta dan pedagang. Namun sebagian besar menekuni pertanian sebagai pekerjaan utama maupun sampingan dalam memenuhi kebutuhan subsiten maupun semi komersil. 8. Terdapat Usaha-Usaha Pemungutan Tradisional Hasil Hutan Masyarakat yang berdiam di dalam maupun di luar kawan hutan KPHL Biak Numfor memiliki aktivitas pemungutan terhadap hasil hutan yang dilakukan secara tradisional. Diantaranya adalah pemanfaatan buah bakau atau mangrove sebagai makanan tradisional yang dalam bahasa 62

77 lokal disebut Aibon. Aibon berasal dari jenis Bruguiera sp yang banyak mengandung karbohidrat. Selain itu, dalam hal pembuatan perahu tradisional masyarakat Biak memiliki pengetahuan tradisional dalam hal memilih kayu sebagai bahan baku pembuatan perahu, sehingga pemanenan kayu dilakukan secara selektif. Untuk pembuatan perahu tradisional atau dalam bahasa Biak disebut Waypapa jenis kayu yang biasanya digunakan terdiri dari marem (Litsea tuberculata), moref (Palaquim amboinicum), adoi (Adenathera microsperma), kabui (Intsia bijuga), sner (Manilkara) dan jenis-jenis lainnya (Aji, 2000). Pengetahuan tradisional dalam pemungutan hasil hutan menjadi modal bagi pengelola KPHL Biak Numfor dalam mengatur cara pemungutan hasil hutan, sehingga sumberdaya hutan dapat dikelola secara berkelanjutan. Kelemahan (Weaknesses- W) 1. Peta Tata Ruang Kehutanan dan Batas Kawasan Hutan Masyarakat Adat Belum Ada Pemetaan partsipatif dalam rangka memperjelas status hak kepemilikan masyarakat adat secara legal formal di wilayah KPHL Biak Numfor belum dilakukan, sehingga dalam tata ruang kehutanan provinsi maupun kabupaten, kedudukan dan status wilayah kelola masyarakat adat tidak mendapat ruang. Akibatnya terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan dan kawasan hutan baik secara vertikal maupun horizontal. Fakta ini menjadi kelemahan dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor ke depan, sehingga perlu dilakukan pemetaan wilayah kelola masyarakat adat secara partsipatif dan melakukan registrasi secara nasional pada Badan Registrasi Wilayah Adat pada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dimasukan dalam peta Tata Ruang Kehutanan Provinsi. 2. Kelembagaan KPHL Biak Numfor belum Efektif dan Efisien Kapasitas kelembagaan KPHL Biak Numfor yang mantap merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan kawasan, sebagai sebuah lembaga SKPD saat ini KPHL Biak Numfor memiliki pegawai sebanyak 31 orang. (14 orang PNS, 17 orang tenaga kontrak). Keadaan 63

78 pegawai yang demikian secara kelembagaan akan sangat sulit menjalankan tugas pengelolaan kawasan yang luasnya mencapai hektar dan memiliki 6 wilayah Resort Pengelolaan Hutan (RPH). RPH yang direncanakan hingga saat ini belum terisi oleh personil-personil yang memadai. Sehingga diperlukan penambahan pegawai atau personil yang secara teknis mampu dan memiliki kemampuan manajerial yang baik yang diharapkan mengisi kekosongan maupun kekurangan tenaga di KPHL Biak Numfor maupun pada tingkat RPH. Beberapa skenario untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perlu dipikirkan dan direncanakan agar efektifitas dan efisiensi lembaga KPHL Biak Numfor dalam menjalankan tugas dan fungsinya berjalan dengan baik. 3. Sumberdaya KPHL (Fasilitas dan Sumberdaya Manusia) Masih Terbatas Salah satu faktor dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor yang perlu dilengkapi secara memadai adalah sumberdaya (resources) baik sumberdaya manusia maupun peralatan atau sarana dan prasarana. Sarana prasarana yang dimiliki KPHL Biak Numfor hingga Bulan Juli 2013 berupa : gedung kantor 70 m 2, kantor RPH 100m2, kendaraan roda 2 berjumlah 4 unit, kendaraan roda 4 berjumlah 1 unit, alat ukur berupa GPS, kompas dan altimeter serta meubeler berupa meja dan kursi yang masih terbatas. Pembentukan RPH tidak hanya memerlukan personil tetapi juga sarana dan prasarana baik berupa kantor maupun kendaraan operasional. Saat ini RPH merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor ke depan. Memperhitungkan luas wilayah bila diasumsikan bahwa setiap luas hektar dikelola oleh satu orang maka KPHL memerlukan 82 orang staf pegawai maupun tenaga honorer untuk bekerja. 4. Data Potensi Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu di Setiap Fungsi Kawasan Belum Tersedia Potensi sumberdaya hutan baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang terdapat di dalam kawasan KPHL Biak Numfor 64

79 belum didata secara lengkap pada setiap fungsi kawasan hutan. Disisi lain tingkat pemanfaatan masyarakat terus meningkat dari wkatu ke waktu, maka upaya inventarisasi potensi hasil hutan merupakan hal penting untuk dilakukan terutama dalam tahun awal pengelolaan kawasan. Dari sisi ekonomi potensi sumberdaya hutan merupakan barang ekonomi yang bila tidak dimanfaatkan akan menjadi modal idle (modal diam) dan tidak memberikan added value (nilai tambah) bagi kesejahteraan masyarakat. Dikawatirkan keadaan ini akan makin memacu terjadinya kerusakan sumberdaya hutan. 5. Regulasi Pendukung Bidang Kehutanan Terkait dengan Perizinan, Retribusi dan Hak Masyarakat Adat Belum Tersedia Baik pada setiap Tataran Pemerintahan Semua upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang menjadi visi dan misi pengelolaan KPHL Biak Numfor sangat tergantung pada regulasi yang berlaku pada semua tataran pemerintahan. Regulasi adalah alat pengatur dan penjamin yang mengikat setiap orang baik pelaku maupun pengelola dan penerima manfaat dari sumberdaya hutan. Karena itu, setiap regulasi harus dapat menjawab setiap kepentingan stakeholders kehutanan secara adil. Regulasi yang terkait dengan ijin kayu rakyat sampai saat ini sudah tersedia draft namun belum dapat diimplementasi secara luas. Selain itu, Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) terkait pengelolaan sumberdaya hutan juga belum diimplementasi dan disosialisasi kepada para pihak di bidang kehutanan dan masyarakat awam. Regulasi tidak hanya menjadi pendorong upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, namun disisi lain dapat menimbulkan konflik atas pengelolaan sumberdaya hutan, bila regulasi yang dihasilkan tidak menjawab semua kepentingan secara adil. Oleh sebab itu, regulasi yang dibuat harus meminimalisir konflik kepentingan. 65

80 6. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Belum Terorganisir Aktivitas pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan HHBK yang dilakukan masyarakat saat ini dilakukan sendiri-sendiri pada areal kelola adat, sehingga terkesan manfaat ekonomi dan sosial budaya tertumpuk pada beberapa orang atau marga yang memiliki hak ulayat lebih besar. Pemungutan hasil hutan yang dilakukan sendiri-sendiri dapat dimanfaatkan oleh free rider (penunggang bebas), rent seeking (pencari rente) dan pelaku opportunistik untuk memanfaatakan kelemahan masyarakat dengan menyediakan cash money sehingga masyarakat menjual hasil hutan dengan harga yang jauh dibawah harga standar bahkan ada yang dilakukan dalam bentuk barter. Hal ini terlihat dari adanya penjualan kayu-kayu olahan untuk kebutuhan pembangunan di Biak Numfor, banyak kayu dijual tanpa legalitas dokumen yang resmi dikeluarkan oleh instansi terkait. 7. Kapasitas Masyarakat dalam Mengelola Hutan dan Lahan Sangat Terbatas Masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar kawasan hutan KPHL Biak Numfor belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengelola hutan. Dalam hal modal usaha masyarakat sangat tergantung pada pengusaha dari luar sehingga terjadi penjualan hasil hutan dibawah standar harga pasar. Dari sisi sumberdaya manusia kapasitas masyarakat sangat rendah karena jenjang pendidikan yang pernah diikuti lebih banyak hanya sekolah dasar sehingga proses adopsi dan inovasi berjalan sangat lambat, hal ini mempengaruhi metode atau cara-cara masyarakat dalam mengelola hasil hutan terutama kearah yang lebih lestari. Selain itu, sarana dan prasarana pendukung usaha-usaha di bidang kehutanan yang dimiliki masyarakat juga sangat terbatas, kalaupun ada itu sebagian besar merupakan hasil barter dengan hasil hutan yang dimiliki. 66

81 8. Kerjasama Lembaga Masyarakat dan Koordinasi Program dengan Instansi Terkait Belum Mantap, Masih Sektor Upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan hanya tanggungjawab KPHL Biak Numfor dan Dinas Kehutanan namun menjadi tanggungjawab pemerintah secara utuh. Namun saat ini belum ada koordinasi dan kerjasama yang baik antar pemerintah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat terkesan masih sektoral. Akibatnya hasil yang dirasakan masyarakat relatif lebih kecil dibandingkan program dan kegiatan yang dilakukan secara kolaborasi. Program dan kegiatan yang bersifat kolaboratif perlu diwadahi dalam suatu kelembagaan yang baik dan lintas sektoral Faktor Eksternal Peluang (Opportunities - O) 1. Kebijakan Penerapan KPH pada Setiap Fungsi Hutan Kebijakan penerapan KPH di Indonesia merupakan langkah strategis dalam upaya pengamanan dan pengelolaan yang lebih menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Dukungan regulasi dan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah menjadi peluang yang besar dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor. Dilihat dari sisi finansialnya, ada stimulus dana yang dapat digunakan menjalankan aktivitas. Pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor juga telah memberikan dukungan melalui Perda untuk menjadikan kelembagaan KPHL Biak Numfor sebagai suatu SKPD yang berarti ada konsekuensi pembiayaan melalui APBD Kabupaten. 2. Terbukanya Akses Masyarakat dan Kewenangan Pemda dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hukum Adat Masyarakat asli Papua berhak melakukan kegiatan ekonomi dan mendapat kesempatan mengolah sumber-sumber perekonomian rakyat bersama pihak ketiga baik lokal, regional, nasional dan internasional sesuai peraturan perundang-undangan. Sumber-sumber perekonomian dimaksud adalah pengolahan hasil hutan. Hal tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang menunjukan keberpihakan pada orang asli Papua. Pemihakan yang 67

82 memberikan manfaat jangka panjang bagi seluruh penduduk Papua, yang mengandung terobosan untuk mempercepat pemberdayaan, serta tidak mengorbankan/mendiskriminasikan hak-hak warga Negara yang lain. Terbukanya akses melalui regulasi ini memberikan peluang bagi masyarakat Papua (masyarakat hukum adat) untuk berusaha di bidang kehutanan dalam mencapai kesejahteraanya, dan hal ini harus didukung oleh pemerintah dengan kebijakan dan regulasi yang memihak rakyat kecil. 3. Minat Investasi Sektor Kehutanan Tinggi Minat investasi sektor kehutanan di Papua saat ini masih tinggi walaupun jumlah ijin usaha pemanfaatan hasil hutan terus mengalami penurunan dari tahun 1990-an, namun usaha-usaha dibidang kehutanan masih tetap memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten. Pengalihan usaha kehutanan dari pemanfaatan hutan alam ke hutan tanaman dan ijin pemanfaatan kayu rakyat serta banyaknya indutri meubel yang muncul di Kota Biak menunjukkan bahwa minat investasi masih tinggi. Berdasarkan penelitian Wamaer (2011), jumlah stand kayu yang berada di Biak Kota sebanyak 5 (lima) unit dan memproduksi kayu-kayu m 3 per tahun dan memperoleh keuntungan rata-rata sebesar Rp per tahun atau Rp ,50 per bulan. Dengan demikian untuk saat ini investasi di bidang kehutanan masih memberikan keuntungan sekalipun terjadi tingkat kenaikan suku bunga bank masih tinggi, namun usaha di bidang kehutanan tetap menjanjikan. Disisi lain dari berbagai jenis kayu yang terdapat di wilayah ini usaha kehutanan di Biak dominan memanfaatkan kayu merbau (Intsia bijuga) (100%) dan Agathis labilardieri (60%). Sedangkan jenis kayu lain seperti litsea spp (48,57%) Palaquium amboinensis (45,71%), Pometia spp (42,85%), mastixiodeniona Pachycladus (17,14%) dan Elmerrillia papuana Dandy (5,71%) (Ronsumbre, 2010). 68

83 4. Kerjasama Dengan Pihak Luar Terbuka Luas untuk Penelitian dan Pengembangan dalam Pengelolaan Hutan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Sektor kehutanan merupakan salah satu yang paling banyak mendapat dukungan baik dalam kegiatan penelitian maupun dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan. Dukungan tersebut bukan hanya dari lembaga-lembaga lokal saja tetapi lembaga-lembaga internasional sudah banyak yang memberi perhatian terhadap permasalahan kehutanan di Papua. Hal ini menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh KPHL Biak Numfor untuk menggalang dukungan dana maupun dalam hal pengembangan kapasitas SDM dan fasilitas penunjang lainnya. 5. Program REDD+ dilaksanakan pada ruang KPH REDD + adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, menjaga stock carbon yang ada, mengelola hutan secara lestari dan meningkatkan stok karbon hutan serta merupakan salah satu opsi mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. REDD + dilaksanakan secara sukarela dan menghormati kedaulatan negara. Dengan demikian REDD + dilihat sebagai sebuah peluang untuk mendapat keuntungan ekonomi yang dalam sektor kehutanan akan menjadikan KPH sebagai ruang implementasinya. Ancaman (Threat - T) 1. Terdapat Tumpang Tindih Kewenangan antar Sektor Kehutanan dan Non Kehutanan Sektor Kehutanan merupakan sektor yang banyak mengalami tumpang tindih kawasan karena banyak kepentingan sektor lain yang langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan lahan dan kawasan hutan. Banyak kawasan hutan yang berfungsi lindung dan konservasi telah dikorbankan demi kepentingan sektor lain, misalnya pertambangan, perkebunan, pertanian dan sektor lainnya dalam bentuk 69

84 alihfungsi lahan dan kawasan hutan. Hal ini sangat berkaitan dengan RTRW Kabupaten yang telah disusun. Hal ini menunjukan bahwa minat investasi di luar sektor kehutanan cukup tinggi dan memberikan dampak langsung terjadinya tumpang tindih pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan seluas hektar. Keadaan ini disatu sisi sebagai akibat pemberian ijin yang ego sektoral dan sentralistik tetapi juga asimetrik informasi diantara pemegang hak dan pemberi hak. Konsekuensi lain yang akan timbul adalah tidak terjadi sinergitas dalam upaya-upaya pembangunan dari para pihak. Kondisi ini akan mengorbankan sumberdaya hutan dan juga masyarakat yang berdiam di dalamnya. 2. Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Belum dilegitimasi dan Belum ada Peta Tata Batas Kawasan Hutan Semua kawasan hutan yang diakui sebagai hak ulayat masyarakat adat belum seluruhnya dilegitimasi dalam tataran hukum formal. Karena secara adat lahan dan hutan yang dimiliki belum teregistrasi pada Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Disisi lain secara deyure pemerintah memandang lahan dan hutan yang ada di wilayah KPHL Biak Numfor sebagai hutan negara, hal ini menimbulkan konflik antara pemerintah dan masyarakat dalam hal pemanfaatan. Akibatnya pemerintah harus mengeluarkan biaya dalam bentuk transaction cost untuk membayar ganti rugi lahan dan hutan. Biaya yang dikeluarkan untuk ganti rugi lahan dan hutan di Papua sangat mahal mencapai ratusan jutaan bahkan sampai bermilyar-milyar. Kondisi ini akan menjadi beban pembiayaan apabila dikemudian hari pengelola KPHL Biak Numfor dihadapkan dengan masalah seperti ini. 3. Rendahnya Pendidikan dan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Kawasan Sarana pendidikan masyarakat lokal di sekitar kawasan KPHL Biak Numfor, umumnya rendah dengan pendidikan yang dominan sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat menengah. Untuk melanjutkan ke jenjang SMA atau SMK sering terkendala jarak atau tempat sekolah yang 70

85 cukup jauh. Beberapa distrik yang tidak memiliki SMU/SMK yaitu Orkeri, Numfor Timur, Poiru, Bruyadori, Padaido, Aimando Padaido, Biak Timur, Oridek, Andei, Yawosi, Bondifuar dan Swandiwe. Walaupun akses pendidikan sudah dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah, namun masih banyak anak putus sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan ini ikut menyumbang dan sangat berpengaruh kepada pemahaman dan persepsi masyarakat terhadap KPHL Biak Numfor, juga dalam hal adopsi inovasi dan teknologi. Rendahnya tingkat pendidikan berkorelasi kepada taraf hidup masyarakat sekitar kawasan, sehingga dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian dan upaya-upaya konservasi di wilayah KPHL Biak Numfor. Taraf hidup dan tingkat pendapatan rendah berakibat pada tingkat ketergantungan dan ancaman terhadap hutan menjadi tinggi. 4. Kegiatan Pemanenan Kayu Secara Illegal Aktivitas penebangan kayu untuk kepentingan lokal terjadi pada semua kawasan hutan, dan saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang ijin pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat membuat aktifitas yang dilakukan seringkali mengakomodir kepentingan yang tidak sesuai dengan legalitas admistrasi (illegal). Kondisi ini akan mempercepat degradasi sumberdaya hutan, apalagi kawasan hutan Pulau Biak dan Numfor memiliki ekosistem yang rentan karena berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau besar maupun kecil. Penyusunan perencanaan strategis masa depan, dilakukan kombinasi diantara dua faktor sehingga menghasilkan tiga macam strategi sebagai berikut: 1. Strategi Strength Opportunity (SO) yaitu strategi dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. 2. Strategi Strength Threat (ST) adalah strategi dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. 3. Strategi Weakness Opportunity (WO) adalah meminimalkan kelemahan untuk meraih peluang atau strategi yang memanfaatkan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang dimiliki. 71

86 Bab3 Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor VISI DAN MISI PENGELOLAAN HUTAN 3.1. Nilai Strategis Pembangunan KPHL Biak Numfor Kebijakan pembangunan kehutanan pada era desentralisasi diarahkan pada pencapaian tujuan pembangunan kehutanan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yaitu: a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem termasuk perairan yang meliputi fungsi produksi, dan fungsi lindung untuk mencapai fungsi sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang; c. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS demi terwujudnya pengelolaan RPH yang efisien dan efektif; d. Mendorong peran serta masyarakat; dan e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu arah dan kebijakan pembangunan yang lebih operasional dan dituangkan dalam suatu sistem perencanaan yang utuh, terpadu dan menyeluruh. Sesuai dengan sistem perencanaan kehutanan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, maka bentuk perencanaan kehutanan terdiri atas rencana jangka panjang yang bersifat makro, rencana jangka menengah yang bersifat mikro dan rencana tahunan yang bersifat teknis operasional. Ketiga bentuk perencanaan disusun secara hirarkis berdasarkan skala ruang dan geografis serta merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari rencana pembangunan nasional, regional dan lokal. Berdasarkan prinsip ini, maka dalam penyusunan rencana pembangunan kehutanan pada tingkat geografis kabupaten/kota harus mengacu kepada arah dan kebijakan pembangunan pada skala geografis dan ruang 72

87 di atasnya secara terintegrasi. Untuk itu, penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor disusun dengan mengacu pada arah kebijakan pembangunan kehutanan baik skala nasional, regional (provinsi) dan disinkronisasikan dengan rencana pembangunan wilayah provinsi dan kabupaten. Lima kebijakan prioritas yang merupakan target sukses Kementerian Kehutanan yang dijadikan acuan, yaitu: 1. Pemberantasan pencurian kayu dan perdagangan kayu illegal; 2. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan; 3. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan; 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan; 5. Pemantapan kawasan hutan. Khusus dalam pembangunan sektor kehutanan, Kementerian Kehutanan melalui Permenhut No. P.51/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kementrian Kehutanan tahun menetapkan visi yaitu Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan. Untuk mencapai visi tersebut telah dirumuskan enam kebijakan prioritas pembangunan kehutanan yaitu: 1. Pemantapan kawasan hutan; 2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS; 3. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan; 4. Konservasi keanekaragaman hayati; 5. Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan; 6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Kebijakan dan rencana strategi kementerian kehutanan tersebut, selanjutnya disinkronisasikan dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan komitmen pemerintah Provinsi Papua untuk menyelenggarakan Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat sebagaimana dirincikan sebagai berikut: 1. Mengakui, menghormati dan mengembangkan hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan; 2. Menyelesaikan konflik dengan menjamin akses masyarakat adat terhadap hutan; 3. Melarang pengiriman kayu dalam bentuk log ke luar Papua; 73

88 4. Mempercepat pembangunan industri sektor kehutanan skala rumah tangga dan program pengelolaan hutan berbasis masyarakat; 5. Mencabut izin perusahaan pemegang HPH/IUPHHK bermasalah; 6. Meningkatkan penegakan hukum sengketa kehutanan melalui pencukupan kebutuhan dan pemberdayaan polisi kehutanan; 7. Mengembangkan industri ramah lingkungan berbasis kehutanan secara hatihati dan bijaksana bagi pemerataan kesejahteraan masyarakat; 8. Mengembangkan proyek uji coba untuk pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat paling sedikit seluas ha; 9. Mengalokasikan areal hutan konversi sampai seluas 5 juta hektar untuk perdagangan karbon; 10. Mempercepat pembentukan Model Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Papua. Nilai-nilai strategis di atas menjadi dasar dalam merumuskan visi, misi dan tujuan pembangunan jangka panjang KPHL Biak Numfor dengan tetap memperhatikan sinkronisasinya dengan Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Wilayah Kabupaten Biak Numfor. 3.2 Visi, Misi dan Tujuan Visi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Biak Numfor yang diemban oleh KPHL Biak Numfor pada kurun waktu 10 tahun ke depan dirumuskan sebagai berikut: Terwujudnya Pengelolaan Hutan Lestari bagi Peningkatan Ekonomi yang Mandiri di Tahun 2024 Adapun kata-kata kunci dan makna yang terkandung dalam visi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pengelolaan hutan yaitu kegiatan dimana dilaksanakan aktivitas tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan dan konservasi alam; 2. Lestari yang artinya tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, bertahan dan kekal. Dalam konteks pengelolaan hutan kata lestari menunjukan suatu praktek pengelolaan hutan untuk mendapatkan manfaat dan nilai-nilai 74

89 sumberdaya hutan bagi generasi sekarang dengan tidak mengorbankan produktivitas dan kualitasnya bagi kepentingan generasi yang akan datang; 3. Peningkatan Ekonomi merupakan suatu keadaan dimana alokasi pemanfaatan sumberdaya hutan terus mengalami kenaikan secara ekonomi dariwaktu ke waktu sehingga banyak pihak yang dapat merasakan nilai manfaat hutan bagi kesejahteraanya; 4. Mandiri menunjukkan suatu keadaan dimana KPHL Biak Numfor dan masyarakat secara ekonomi dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada pihak lain dalam memenuhi kebutuhan hidup dari memanfaatkan hasil hutan. Visi yang diemban tersebut dijabarkan dan diwujudkan dalam Misi yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Pembangunan sistem dan mekanisme kelembagaan KPHL Biak Numfor yang profesional, efektif dan efisien dalam pengelolaan sumberdaya hutan; 2. Memantapkan penataan fungsi kawasan KPHL Biak Numfor dan areal kelola masyarakat adat; 3. Meningkatkan produktifitas hutan; 4. Merasionalisasi pemanfaatan hutan sesuai potensi dan fungsi kawasan; 5. Meningkatkan kesempatan dan kemampuan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan; 6. Perlindungan dan konservasi ekosistem kawasan KPHL Biak Numfor. Berdasarkan visi dan misi Pembangunan KPHL Biak Numfor, maka tujuan yang diharapkan akan dicapai pada akhir periode pembangunan dideskripsikan sebagai berikut: 1. Mantapnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi KPHL Biak Numfor secara mandiri sebagai suatu SKPD; 2. Terjaminnya kepastian status dan pengelolaan kawasan hutan; 3. Tercapainya keseimbangan proporsi dan distribusi tutupan hutan di setiap wilayah RPH; 4. Meningkatnya peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam peningkatan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan perekonomian daerah; 5. Terjaminnya kelestarian fungsi hutan dan produktifitas usaha sektor kehutanan yang berkelanjutan; 75

90 6. Terberantasnya praktek penebangan dan perdagangan ilegal di sektor kehutanan; 7. Meningkatnya penerimaan masyarakat dari sektor kehutanan secara adil dan merata; 8. Terpelihara fungsi kawasan konservasi, lindung keanekaragaman hayati dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan; 9. Berkurangnya konflik atas lahan kritis/ lahan kosong / non produktif; 10. Terwujudnya pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan dalam upaya perlindungan hutan lindung dan hutan konservasi; 11. Terwujudnya pengendalian, pengawasan, dan pembinaan terhadap pengelolaan hasil hutan baik oleh masyarakat maupun swasta Capaian-Capaian Utama yang Diharapkan Mengacu kepada Visi dan Misi KPHL Biak Numfor sebagaimana diuraikan diatas dan dalam rangka mewujudkan Visi dan Misi tersebut maka terdapat beberapa capaian utama yang diharapkan dapat terpenuhi selama kurun waktu 10 tahun ( ) sebagai berikut : 1. Meningkatnya kapasitas kelembagaan dan mekanisme kelembagaan KPHL Biak Numfor yang profesional, efektif dan efisien dalam pengelolaan sumberdaya hutan; 2. Tertatanya fungsi kawasan hutan KPHL Biak Numfor dan areal kelola masyarakat adat secara partisipatif, kolaboratif dan berkelanjutan; 3. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan pada kawasan KPHL Biak Numfor; 4. Terjadinya rasionalisasi pemanfaatan hutan sesuai potensi dan fungsi kawasan; 5. Terjadinya peningkatan kesempatan dan kemampuan masyarakat adat dalam mengelola serta memanfaatkan hasil hutan; 6. Terehabilitasinya lahan-lahan kritis dan potensial kristis serta meningkatnya upaya perlindungan dan konservasi ekosistem kawasan KPHL Biak Numfor sesuai fungsi kawasan; 7. Terlaksananya upaya-upaya resolusi konflik tenurial di wilayah KPHL Biak Numfor yang penanganannya dilakukan berdasarkan skala prioritas. 76

91 Bab4 Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor ANALISIS DAN PROYEKSI 4.1. Analisis Data dan Informasi Analisis Ekologi A. Ekosistem Berdasarkan hasil eksplorasi dan pengamatan serta informasi berbagai data sekunder pengelompokan tipe hutan yang terdapat di kawasan KPHL Biak Numfor terdiri atas hutan pantai, hutan rawa, hutan dataran rendah dan areal bekas kebun (perladangan berpindah) serta aktifitas lainnya (penebangan liar) yang sedang mengalami proses suksesi. Jenis-jenis vegetasi yang mendominasi kawasan ini juga cenderung berbeda dengan ekosistem pantai di sisi lain pulau ini, yaitu jenis vegetasi dengan kemampuan adaptasi perakaran yang kuat agar dapat bertahan pada kondisi bebatuan yang keras dan angin kencang. Pada sebagian besar arah barat pulau yang menghadap ke arah bagian timur merupakan kawasan yang mengalami sedikit gempuran ombak dan memiliki pantai berpasir. Struktur vegetasi yang tumbuh masih lengkap mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon serta terdapat berbagai bentuk hidup (Life form). Disamping itu vegetasi hutan, pada wilayah ini ditemui pula jenis-jenis tumbuhan berbuah dan tanaman hias. Susunan vegetasi tersebut membuat wilayah ini menjadi hijau dan sebagian tampak berwarna-warni. Kawasan hutan KPHL Biak Numfor masih menyimpan beranekaragam jenis burung dengan habitat alami yang sangat baik. Pada wilayah tertentu seperti di Kampung Inbari Distrik Warsa dan Kampung Wardo Distrik Biak Barat terdapat air terjun yang menarik untuk dilihat, di Samares/Kampung Sepse Distrik Biak Timur terdapat telaga berwarna biru dan beberapa goa-goa dan tebing-tebing batu yang masih alami dan menantang untuk diamati dan dijadikan obyek wisata. 77

92 Dalam kawasan hutan ini juga terdapat berbagai sumber mata air, baik yang berasal dari sungai maupun dari goa-goa alam, sehingga dapat memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat sekitar. Berkaitan dengan fungsi kawasan sebagai daerah penyangga air/hidrologis bagi areal di sekitarnya, kawasan KPHL Biak Numfor menjadi kawasan yang memiliki fungsi hidro-orologis yang sangat signifikan, terutama di wilayah kaki bukit sampai pesisir pantai. Tidak hanya vegetasi hutan dalam berbagai life form, di dalam kawasan juga ditemui jenis-jenis satwa yang terdiri dari jenis-jenis burung, beberapa mamalia dan reptil. Perpaduan flora dan fauna tersebut serta keberadaan sumber air dan unsur non biotik lainnya pada kawasan KPHL Biak Numfor membentuk suatu ekosistem yang cukup menarik untuk dinikmati terutama oleh wisatawan. Banyaknya jenis-jenis flora dan fauna akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri bagi pengunjung apalagi terdapat Taman Angrek dan Taman Burung sebagai basis ekowisata. Saat ini kondisi hutan dengan kekayaan jenis yang tinggi telah mengalami perubahan akibat tindakan antropogenik dan aktivitas alam. Beberapa kawasan hutan telah berubah menjadi lahan kritis dan tidak produktif dalam usaha-usaha pertanian skala kecil karena bencana tsunami dan aktivitas perladangan berpindah. Banyak semak belukar yang didominasi jenis-jenis pionir tersebar pada beberapa areal KPH sehingga memerlukan intervensi manusia agar produktif terutama melalui kegiatan revegetasi kawasan hutan. Areal yang ditumbuhi semak menjadi menjadi tidak subur sehingga hasil-hasil kebun atau perladangan yang diproduksi juga tidak optimal. Ekosistem yang lengkap merupakan aset KPHL Biak Numfor untuk dikelola secara arif dan bijaksana sehingga dapat berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Tetapi semua potensi yang tersimpan tersebut, baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu serta jasa-jasa lingkungan belum terekspos dan didata secara lengkap. Upaya untuk menyediakan data dan informasi potensi hutan akan memberikan arahan untuk kepentingan pengelolaan maupun core bisnis KPHL Biak Numfor ke depan. 78

93 B. Keanekaragaman (Biodiversitas) Vegetasi penyusun di dalam kawasan hutan antara jenis-jenis kelompok tumbuhan anggrek yaitu : Dendrobium spp, Gramathophyllum sp dan Spathoglotis plicata. Kelompok tumbuhan palem relatif banyak seperti yaitu Areca macrocalyx, Arenga macrocarpa, Caryota rumphiana var. papuana, Gronophyllum pinangoides, Gulubia costata, Licuala sp dan Rhopaloblaste sp. Kelompok tumbuhan rotan dari Calamus spp. Juga banyak ditemui di wilayah ini. kelompok tumbuhan paku-pakuan yaitu Selaginellaceae, Adiantaceae, Gleicheniaceae, Lomariopsiodeae, Dypteris, Thelypteridaceae dan Shzaeaceae. Kelompok tumbuhan berkayu yang teridentifikasi sebanyak 135 jenis, diantaranya didominasi oleh Pometia spp, Intsia spp, Callophyllum spp, dan Palaquium sp. Selain keanekaragaman jenis flora tersebut kawasan ini juga kaya berbagai jenis satwa antara lain bandikot, kus-kus abu-abu, kus-kus bertotol dan babi hutan. Sedangkan menurut data Taman Burung dan Taman Anggrek Biak (2008), jenis burung endemik Biak ada 9 (sembilan) jenis, yaitu: bayan merah (Ecletus roratus), bayan hijau (Ecletus sp), mambruk viktoria (Goura viktoria), nuri kepala hitam (Lourius lorry), nuri merah sayap hitam biak (Eos cyainogenia), dan nuri pelangi (Tricholossus haematodus). Kondisi ekosistem dari berbagai jenis flora dan fauna sebagaimana diuraikan diatas akan memiliki nilai guna yan besar apabila pengelolaan kawasan ini dilakukan secara optimal, sehingga potensi ini tidak menjadi modal diam (idle) tetapi menjadi sumberdaya potensial yang mampu menjawab kebutuhan lokal, regional maupun nasional. Keanekaragaman jenis pada setiap blok pengelolaan KPHL Biak Numfor tetap dipertahankan secara utuh. Konsekuensi dari upaya ini selain memerlukan regulasi juga tingkat partisipasi masyarakat lokal. Partisipasi yang melibatkan masyarakat secara utuh maka analisis kebutuhan masyarakat dalam kaitan dengan pemanfaatan hutan dan kegiatan rehabilitasi untuk tujuan ekologi merupakan upaya pokok yang harus dilakukan pengelola. C. Potensi Hasil Hutan Jenis kayu yang menjadi primadona masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pembangunan lokal adalah merbau. Potensi merbau per hektar di 79

94 kepulauan Padaido untuk semai 2080 individu/hektar, pancang (12,8 individu/hektar) dan tiang (4 individu/hektar) (Tokede et all, 2006). Potensi hasil hutan bukan kayu unggulan di Biak Numfor adalah rotan, gaharu, dan bambu. Berdasarkan hasil penelitian Simyapen (2007) bahwa potensi jenis rotan yang terdapat pada kawasan hutan pulau Meosmangguandi terdiri dari empat jenis yang tumbuh alami di pulau tersebut. Penamannya menurut bahasa ilmiah dan bahasa daerah (bahasa biak) yaitu: Calamus Sp1 (Warar), Calamus Sp2 (Waneren ), Calamus Sp3 (Warsam) dan Calamus Sp4 (Say). Jenis rotan yang tumbuh dominan pada tingkat semai adalah: jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya adalah 103,3782 % sedangan jenis yang paling jarang pada kawasan hutan pulau Meosmanggaundi yaitu jenis Calamus Sp 4 dengan Indeks Nilai Pentingnya adalah: 13,45 %. Pada tingkat rotan remaja jenis rotan yang tumbuh dominan adalah jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya sebesar: 186,78 % sedangkan jenis yang paling jarang adalah jenis Calamus Sp4 dengan Indeks Nilai Pentingnya yaitu 8,15%. Sedangkan pada rotan tingkat dewasa jenis yang paling dominan adalah jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya yaitu: 173,36 % sedangkan yang paling jarang adalah Calasmus Sp4 dengan Indeks Nilai pentingnya sebesar 12,68 %. Empat jenis rotan ini memiliki struktur populasi yang Regresive Population yaitu struktur populasi dalam keadaan yang mundur dimana pada tingkat semai/anakan jumlah individunya lebih sedikit bila dibandingkan dengan jenis tingkat remaja dan dewasa. Kenyataan dilapangan membuktikan bahwa keadaan tersebut bertolak belakang dengan fakta sebenarnya sehingga untuk menjaga agar tidak terjadi kepunahan spesis, perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan dan perlindungan terhadap jenis-jenis tersebut. Sedangkan jenis-jenis bambu yang terdapat pada kawasan hutan Kampung Amoi Biak Utara ditemukan ada 7 (tujuh) jenis bambu yang terdiri dari 3 (tiga) marga yaitu Bambusa vulgaris var. vulgaris, Shizosthacyium brachyladum, Schizostachyum, Zollingeri, Bambusa vulgaris striata, Neololeba atra, Schizostachyum lima, Shizostachyum blumei. Jenis-jenis bamboo tersebut dimanfaatkan untuk bahan konstruksi, perabot rumah tangga, alat berburu, alat musik, bahan kerajinan, tanaman hias dan bahan makanan. Jenis yang paling 80

95 banyak dimanfaatkan oleh Masyarakat Kampung Amoi Distrik Warsa Kabupaten Biak Numfor adalah Bambusa vulgaris var vulgaris, masyarakat banyak memanfaatkan karena jenis ini mudah didapatkan dan banyak tersedia pada kawasan hutan Kampung Amoi. KPHL Biak Numfor juga memiliki potensi jasa lingkungan yang unggul baik dari sisi kualitas, daya tarik dan aksesibilitas dan pusat-pusat pelayanan publik misalnya air terjun di Distrik Warsa yang dapat dikembangkan menjadi energi listrik menggunakan sistem mikrohidro. Potensi lainnya terdapat pada wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau Padaido serta wisata Goa Jepang Analisis Sosial Ekonomi dan Budaya Kepentingan sosial budaya masyarakat sekitar kawasan erat kaitannya dengan pengelolaan KPHL terutama yang menyangkut kepentingan ekonomi dan sosial budaya. Upaya pencapaian sasaran pengembangan KPHL Biak Numfor untuk menunjang kepentingan ekonomi dan sosial budaya diarahkan untuk memberikan income cash masyarakat melalui pengembangan pemanfaatan potensi flora dan fauna serta keadaan fisik kawasan lainnya serta menopang budaya lokal. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan (gap) antara masyarakat asli dan pendatang karena kawasan KPHL Biak Numfor diperhadapkan dengan budaya yang relatif tinggi. Sikap masyarakat sekitar kawasan terhadap upaya pengembangan KPHL Biak Numfor pada prinsipnya belum memadai hal ini terlihat dari rendahnya pengetahuan masyarakat akan keberadaan KPHL Biak Numfor dan dukungan yang diberikan dalam upaya-upaya pengembangan kawasan. Rendahnya kapasitas masyarakat terutama dalam penerimaan rumah tangga (income cash) menyebabkan timbulnya masalah sosial yang lain. Salah satu penyebabnya adalah variasi usaha yang dilakukan masyarakat tergolong masih rendah. Rata-rata masyarakat Biak Numfor terutama yang berada di dalam dan sekitar kawasan hanya memiliki dua sumber mata pancaharian utama yaitu sebaga petani tradsional dan nelayan. Usaha-usaha lain seperti berdagang, tukang, kerajinan, pengelola kayu dan lain-lain tidak dilakukan, kalaupun ada relatif sedikit yang mengerjakannya. 81

96 Variasi mata pencaharian sangat berpengaruh terhadap jumlah penerimaan, artinya semakin banyak usaha yang dilakukan semakin banyak pula sumber penerimaan yang diperoleh. Masa keemasan pertumbuhan ekonomi Biak Numfor pernah terjadi, tepatnya sebelum krisis ekonomi. Data yang tersedia menunjukkan, sebelum terjadinya krisis ekonomi melanda Indonesia, pertumbuhan rata-rata ekonomi Biak Numfor ( ) mencapai 7,47 % pertahun. Ketika krisis ekonomi terjadi pada paroh ke-dua tahun 1997, laju pertumbuhan ekonomi Biak Numfor turun menjadi 3,50 %, jauh lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Irian Jaya tanpa sub-sektor pertambangan (9,92 %). Setelah itu kondisi perekonomian Kabupaten Biak Numfor semakin terpuruk dan mengalami kontraksi yang semakin besar. Pada tahun seluruh sektor ekonomi, terutama sektor-sektor produksi kecuali sektor pertanian dan jasa mengalami kontraksi dengan pertumbuhan yang negatif. Berturut-turut tahun 1998 sebesar - 11,03 % dan -12,58 % pada tahun Kendati demikian, sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa merupakan sektor-sektor yang relatif tahan terhadap krisis ekonomi. Pada tahun 2000 terjadi pertumbuhan ekonomi yang positif sebesar 17,32 %, tetapi pada tahun 2001 mengalami pertumbuhan negatif lagi sebesar -3,56 %. Fluktuasi ini dipengaruhi sektor perbankan, persewaan dan jasa perusahaan yang sangat fluktuatif. Pertumbuhan yang fluktuatif dari sektor ini selama kurun waktu tidak terlepas dari krisis ekonomi dan moneter berkepanjangan dan gejolak nilai tukar rupiah yang masih labil. Sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Biak Numfor secara keseluruhan. Kondisi perekonomian Biak Numfor mulai mengalami perbaikan sejak tahun 2002 sampai saat ini. Ratarata pertumbuhan PDRB antara mencapai 6,78 %/tahun. Pertumbuhan ekonomi Biak Numfor dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan 2009, karena pertumbuhan ekonomi ini benar-benar diakibatkan dari perubahan jumlah nilai produk barang dan jasa yang sudah bebas dari pengaruh harga (pertumbuhan riil). Pada tahun laju pertumbuhan ekonomi Biak Numfor dari 6,82% di tahun 2004 dan terus mengalami peningkatan sampai 7,64% pada tahun Tahun 2008 mengalami penurunan dan mengalami kenaikan pada tahun

97 Secara nyata, pertumbuhan ekonomi di Biak berfluktuasi dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Papua. (Tabel 22). Tabel 22. Pertumbuhan Ekonomi Biak Numfor Tahun Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. PDRB ADHB (Jutaan Rupiah) , , , , , PDRB ADHK 2000 (Jutaan Rupiah) , , , , , Pertumbuhan 6,82 7,13 8,03 7,64 5,73 7,70. Ekonomi (%) Sumber : BPS Kabupaten Biak Numfor, Analisis Kelembagaan Perencanaan pembangunan KPHL Biak Numfor merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan pemerintah daerah Kabupaten Biak Numfor, oleh karena itu setiap program pembangunan KPHL Biak Numfor secara teknis harus dikoordinasikan dan disinkronisasikan dengan program pembangunan sektor lain dalam suatu forum Musyawarah Pembangunan Daerah (Musrenbang). Koordinasi teknis dan sinkronisasi program hendaknya dimulai dari tingkat kampung/distrik sampai ke tingkat provinsi sesuai hirarki proses koordinasi perencanaan pembangunan daerah. Dengan proses koordinasi teknis demikian, maka tujuan pembangunan KPHL Biak Numfor diselenggarakan harus dengan azas manfaat yang lestari, kerakyatan, keadilan, keterbukaan dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan pengembangan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Proses koordinasi teknis rencana pembangunan KPHL Biak Numfor dilaksanakan oleh suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) baik di tingkat Kampung/Distrik maupun di tingkat Kabupaten yang dikoordinir oleh BAPPEDA Kabupaten. Berjalannya proses ini, KPHL Biak Numfor dapat mensosialisasikan rencana program dan kegiatan tahunan dan lima tahunan ke tingkat Kampung dan Distrik dalam musrenbang tingkat Kampung/Distrik melalui 83

98 tenaga pendamping lapangan atau tenaga teknis. Usulan-usulan program dan kegiatan kampung sektor kehutanan diakomodir dalam program dan kegiatan yang bersesuaian di tingkat kabupaten dalam Musrenbang kabupaten guna dikoordinasikan dan disinkronisasikan dengan sektor lain agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan penganggaran. Dengan proses koordinasi teknis demikian diharapkan dapat terjadi integrasi program antar sektor teknis terkait yang lebih akomodatif dan terpadu. Kelembagaan Satuan Teknis Pelaksana Program Pemberdayaan Masyarakat Usaha Sektor Kehutanan Kepala KPHL Biak Numfor secara struktural bertanggungjawab dalam mengimplementasi berbagai program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah disusun. Mekanisme kerja kelembagaan yang dibentuk adalah sebagai berikut: 1. Usulan-usulan kelompok yang telah dibentuk melalui fasilitator/petugas lapangan atau tenaga honorer agar selalu ditindak lanjuti; 2. Pada awal tahun anggaran, usulan-usulan yang diajukan setiap kelompok dievaluasi dengan melibatkan Tim Teknis/Tim Pengendali guna menentukan prioritas usulan kegiatan yang berpeluang untuk dilaksanakan sesuai kondisi obyektif kelompok binaan; 3. Mengaktifkan keterlibatan aparat teknis (tenaga honorer) secara penuh pada seluruh tahap kegiatan yang dilaksanakan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi; 4. Menciptakan kemandirian masyarakat mulai dari penyiapan lahan sampai pada pelaksanaan kegiatan di lapangan dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada masyarakat/kelompok tani/usaha yang dibentuk. Sebagai contoh, bibit disediakan melalui persemaian kelompok/kampung, alat-alat kerja dan bahan diberikan dalam bentuk kredit lunak serta tidak membiasakan kelompok meminta bantuan ataupun menjanjikan upah/bayaran seperti layaknya proyek-proyek kontrak kerja. Bantuanbantuan dana lebih banyak diarahkan pada kegiatan-kegiatan pembinaan atau pelatihan seperti sekolah lapang dan sejenisnya. 84

99 5. Membuat sistem pelaporan secara berjenjang dan berkala mulai dari tingkat kelompok hingga tingkat pengelola dan dari tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan terutama laporan kemajuan pekerjaan pada setiap periode waktu kegiatan. Konsultan Bupati Intansi Teknis Lain KPHL/RPH Kepala Distrik Fasilitator/ Pendamping Pelaksana Kepala Kampung Gambar 15 Struktur Kelembagaan Tim Pengendali Teknis Model Partisipasi Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Harapan dari keikutsertaan masyarakat adat dalam kegiatan dan usaha sektor kehutanan di wilayah KPHL Biak Numfor adalah agar masyarakat adat memperoleh akses dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan pendapatan dalam rangka pemberdayaan ekonomi dan peningkatan taraf hidupnya secara berkelanjutan. Akses yang diperoleh dan pendapatan yang diterima tersebut diharapkan mampu mendorong pengembangan usaha-usaha produktif lain secara mandiri, seperti pengembangan kebun rakyat dan aneka usaha kehutanan produktif lainnya. Kel. Tani Hutan Masyarakat adat pemilik ulayat atas kawasan hutan umumnya adalah masyarakat tradisional dengan mata pencaharian sebagai petani skala subsisten (sebagian bahkan masih pada tahap peramu dan berburu). Dengan latar belakang sosial budaya tersebut tampaknya masyarakat masih perlu ditingkatkan kapasitasnya melalui pembinaan intensif terutama aspek teknis dan usaha sektor 85

100 kehutanan. Masyarakat masih perlu didorong agar dapat dan mau memanfaatkan pendapatannya secara tepat guna dan produktif dalam upaya peningkatan taraf hidupnya melalui pembinaan dan pendampingan oleh pihak-pihak terkait. Pembinaan yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan secara aktif masyarakat dalam kegiatan pengusahaan hutan maupun kegiatan pembinaan tenaga teknis KPHL Biak Numfor. Keterlibatan masyarakat adat dalam kegiatan pengelolaan hutan belum dapat sampai pada taraf partisipasi spontan, masih dalam taraf partisipasi karena dorongan. Model partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan usaha sektor kehutanan produktif lainnya seperti digambarkan pada Gambar 16 dan 17. KPHL PENGAKUAN HAK MASYARAKAT ADAT - MODAL - PENG. TEKNIS Kelompok Tani/ Usaha Kehutanan - HUTAN - KEARIFAN LOKAL - TENAGA KERJA - ORGANISASI Gambar 16 Model Partisipasi Pembinaan Masyarakat Hukum Adat Model partisipasi di atas terintegrasi dalam program Pembinaan Masyarakat Adat disekitar Hutan oleh KPHL Biak Numfor. Program kegiatan kehutanan dilaksanakan pada lahan komunal masyarakat adat. Masyarakat adat diposisikan sebagai subyek dan sekaligus obyek pembangunan kehutanan dan tidak dianggap sebagai buruh hutan (living tools for forest work) yang selama ini diterapkan dalam program Hutan Kemasyarakatan. 86

101 KPHL KEMITRAAN INVESTOR/SWASTA - MODAL - TEK. PROFESIONAL - TENAGA AHLI KONTRAK ORGANISASI BERSAMA (KOLABORASI) KEMITRAAN MASYARAKAT ADAT - HUTAN - TENAGA KERJA - KEARIFAN LOKAL Aneka Usaha Kehutanan Produktif Gambar 17. Model Kemitraan Pengelolaan Kawasan Hutan Model partisipasi tersebut dapat diimplementasikan bila Aneka Usaha Kehutanan dianggap sebagai bagian dari pembangunan masyarakat Hukum Adat yang dibina oleh KPHL Biak Numfor. Pembangunan kehutanan dikawasan KPHL Biak Numfor dilakukan bersama investor dan masyarakat hukum adat. Masyarakat pemilik hutan adat diposisikan setara dengan investor yang memiliki modal dalam usaha kehutanan. Pemerintah bertindak sebagai regulator, motivator, dan evaluator dalam keseluruhan proses pengelolaan hutan sekaligus sebagai fasilitator dalam aspek koorporasi antara investor dengan kelompok masyarakat adat. Dengan model kerjasama demikian, diharapkan akan terjadi alih teknologi yang efektif kepada masyarakat adat dan kemandirian masyarakat dalam permodalan dan menejemen usaha dapat cepat terwujud. Menjamin efektifitas program pembinaan dan pendampingan masyarakat adat, program tersebut harus terintegrasi dalam rangkaian proses pengelolaan usaha kehutanan yang dilakukan sinkronisasi dengan program pembangunan daerah. Selain aspek teknis dan manajerial pengelolaan usaha secara komersil, aspirasi masyarakat tentang masa depan, etos kerja dan pemahaman tentang halhal yang benar-benar dibutuhkan untuk pencapaian taraf hidup yang diinginkan atau sekedar keinginan sesaat juga patut mendapat perhatian dalam upaya pembinaan dan pendampingan masyarakat adat. 87

102 Langkah awal dalam upaya pembinaan dan pendampingan, harus dilakukan sosialisasi kepada masyarakat adat tentang apa yang dimaksud dengan kesejahteraan dan bagaimana cara mencapainya, serta peluang dari pengusahaan hutan yang dilakukan untuk mencapai kondisi yang diinginkan tersebut. Setelah dicapai kesepahaman antara masyarakat dengan pihak instansi terkait dilanjutkan dengan penentuan proporsi pengalokasian pendapatan masyarakat dari pengusahaan hutan ulayat untuk pembiayaan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat adat dan teknis pemanfaatannya. Sebelum mancapai tahap ini sebaiknya pengelola KPHL Biak Numfor sudah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat adat untuk mencapai kondisi/taraf hidup sejahtera dan merencanakan/mengarahkan program pembangunan untuk mendorong pencapaian kondisi yang diinginkan. Upaya pemberdayaan masyarakat adat melalui pengelolaan usaha kehutanan secara skematis dapat dilihat pada Gambar 16 dan bentuk pemberdayaan dan lembaga yang berkompeten disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Bentuk Pemberdayaan dan Lembaga yang Berkompeten Bentuk Pemberdayaan Pengusahaan Hutan Inventarisasi Hutan Pengukuran Potensi Kayu Pengolahan Kayu Pengukuran dan Pengujian Kayu Olahan Administrasi Kehutanan Penatausahaan Hasil Hutan Tata Usaha DR-PSDH Manajemen Usaha Pelatihan Manajemen Koperasi dan kewirausahaan Pemberdayaan/Pembinaan Masyarakat Pertanian Perkebunan Peternakan Industri Rumah Tangga Pendampingan Teknis Lembaga yang Berkompeten KPHL Dinas Kehutanan, LSM, Perguruan Tinggi Dinas Kehutanan - KPHL Perguruan tinggi Dinas Kehutanan KPHL Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM. Dinas Kehutanan, KPHL Dinas Teknis Terkait di Tingkat Kabupaten Biak Numfor Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perindustrian, Kehutanan LSM, Perguruan Tinggi, Tenaga Teknis (Kontrak) 88

103 Penataan Areal Kelola Masyarakat Penataan areal kelola dilakukan melalui suatu prosedur kewenangan yang berimbang dari pemerintah pusat dan daerah, untuk mendapatkan legitimasi dari berbagai pihak sehingga kawasan ini menjadi suatu Kawasan Mantap Jangka Panjang (KMJP) dalam arti kawasan utuh yang tidak terpisah pada beberapa tempat serta bebas dari konflik tenurial. Penetapan areal kelola masyarakat adat ini dapat dilakukan apabila tata batas fungsi kawasan jelas dan batas-batas kawasan hutan masyarakat adat dipetakan dalam suatu peta kawasan hutan. Pemetaan kawasan hutan ini perlu didahului oleh kegiatan pemetaan batas kawasan hutan dan kawasan hutan masyarakat adat secara partisipatif. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan mempunyai kewenangan menyusun standar dan kriteria tentang tata cara pengelolaan hutan sesuai dengan rencana strategi nasional untuk pembangunan kehutanan di Indonesia. Hasil kajian berupa Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang disertai peta peruntukkan kawasan hutan dan perairan. Peta ini memuat kawasan hutan (hutan produksi, konservasi dan lindung) dan non kawasan hutan (APL atau tanah milik). Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam menyusun kriteria tentang tata cara pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah adat dijabarkan dalam suatu Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) sehingga dapat dilakukan pembagian areal pemanfaatan berdasarkan kepemilikan wilayah adat. Pembagian areal pemanfaatan dapat dilakukan salah satunya melalui suatu proses pemetaan partisipatif dengan melibatkan masyarakat adat yang mempunyai areal terkait. Peta pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah adat terdiri dari kawasan pemanfaatan sumberdaya (hutan, tambang dan sebagainya) dan kawasan budaya (ritual dan keramat). Pembuatan peta partisipatif ini dilakukan pemetaan wilayah adat sampai pada tingkat marga, sebagai dasar untuk (1) pengakuan hak masyarakat atas wilayah adat dan ruang kelola, (2) penataan areal kelola secara adil antar marga, (3) sebagai dasar penerapan model alternatif dan (4) sebagai dasar pemberian kompensasi. Selanjutnya Dinas Kehutanan Provinsi berdasarkan rencana strategis daerah menetapkan rancangan areal kelola masyarakat adat melalui overlay peta 89

104 pemanfaatan SDA di wilayah adat dan peta peruntukkan kawasan hutan dan perairan. Areal kelola masyarakat adat dibedakan menjadi 3 sesuai dengan peruntukan kawasan hutan, yaitu areal kelola di hutan produksi, areal kelola di hutan lindung dan areal kelola di hutan konservasi. Unit usaha masyarakat adat pada setiap fungsi kawasan dapat diintegrasikan dengan model Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Sebagai pelaksana program pembangunan kehutanan di daerah, Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten dan KPHL Biak Numfor bertindak sebagai ujung tombak pemerintah yang nantinya berhadapan langsung dengan masyarakat. Penetapan KMJP merupakan suatu keharusan dalam penentuan areal kelola masyarakat adat, KMJP harus mempertimbangkan Tata Ruang Kabupaten, Distrik dan Kampung yang terkait dengan rancangan areal kelola dari Pemerintah Provinsi serta memadukan dengan pembagian Resort Pengelolaan Hutan (RPH). KPHL Biak Numfor dengan memperhatikan KMJP, menilai dan menetapkan ijin mengelola kepada badan usaha masyarakat pemilik wilayah adat sesuai dengan rancang bangun areal kelola yang diusulkan sebagai unit pengelolaan tertentu. Semua regulasi teknis baik oleh Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kabupaten/Kota dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Kabupaten (Perda). Unit manajemen adalah model pengelolaan yang diijinkan atas areal kelola pada KMJP berdasarkan peruntukkan hutan, luas areal, jumlah marga pemilik wilayah adat dan jenis produk. Untuk jelasnya penentuan unit pengelolaan dapat dilihat pada Tabel

105 Tabel 24. Penentuan Unit Pengelolaan Areal Kelola di Hutan Produksi, Lindung dan Konservasi Unit Manajemen Luas Areal Kelola Jumlah Marga Produk yang diijinkan (ha) Pemilik Areal Kelola di HP Usaha Mandiri Kayu gergajian Kolaborasi/Bermitra Kayu Gergajian + Log Kontrak Kerja Log Areal Kelola di HL dan HK Usaha Mandiri Tdk terbatas 1 Kolaborasi/Bermitra Tdk terbatas 1 Kontrak Kerja Tdk terbatas 2 atau lebih Hasil Hutan Non Kayu dan Jasa Lingkungan 4.3. Strategi dan Rencana Penentuan strategi dilakukan melalui kombinasi dari faktor-faktor lingkungan internal dan lingkungan eksternal dalam analisis SWOT. Strategi yang ditetapkan diseleksi kembali sehingga dapat dirumuskan strategi prioritas. Strategi-strategi berdasarkan analisis SWOT adalah sebagai berikut: 91

106 Tabel 25. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Memanfaatkan Peluang (Strategy S-O) Opportunity (O) 1..Kebijakan penerapan 2. Terbukanya akses 3. Minat investasi 4. Kerjasama dengan 5. Program REDD + KPH pada setiap masyarakat dan sektor kehutanan pihak luar terbuka luas dilakukan diruang fungsi hutan kewenangan tinggi untuk penelitian dan KPH Pemda dalam pengembangan dalam Strength (S) pengelolaan hutan berbasis masyarakat pengelolaan hutan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Potensi hasil hutan Mendorong ijin Membuka kesempatan Mencari dan membuka REDD + diterapkan pada kayu, bukan kayu pemanfaatan potensi investasi kepada peluang kerjasama kawasan hutan alam yang dan hasil hutan hasil hutan berbasis investor bidang penelitian dan ada potensi Hasil Hutan ikutan lain relatif masyarakat hukum kehutanan di wilayah pengembangan dengan Kayu dan Hasil Hutan masih tinggi adat KPHL pihak luar Bukan Kayu yang masih tinggi 2. Organisasi KPH telah terbentuk dan memiliki kedudukan sejajar dengan SKPD lain Memperkenalkan kedudukan organisasi serta peran dan fungsi KPHL Biak Numfor KPHL memberikan stimulan bagi masyarakat dalam usaha di bidang kehutanan KPH dijadikan ruang implementasi mekanisme REDD + 3. Terdapat keindahan bentang alam dan peninggalan budaya yang unik Peningkatan income masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan ekowisata Membuka kesempatan investasi di bidang jasa dan ekowisata berbasis masyarakat adat 4. Komitmen pemerintah daerah relatif tinggi untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan Mendorong regulasi yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan pada setiap fungsi kawasan Memberikan akses seluas-luasnya bagi investor untuk berinvestasi di bidang kehutanan dan Mencari dan membuka peluang kerjasama penelitian dan pengembangan dengan pihak luar Alternatif Sumber Pendapatan dari REDD + 92

107 masyarakat melalui pembangunan bidang kehutanan ekowisata 5. Sistem pemukiman dan pemilikan ulayat menyebar secara komunal Penataan batas-batas wilayah secara jelas dan legal berdasarkan hak ulayat 6. Kepemimpinan adat dan hak masyarakat masih berlaku di beberapa wilayah distrik dan kampung 7. Sebagian besar masya-rakat menggantungkan hidup dari bertani, meramu dan berburu hasil hutan Menjaga agar efektifitas property right dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan tetap terwujud Membangun modelmodel pengelolaan dan pemanfaatan kawasan yang menjamin kelestarian fungsi dan manfaat pada setiap fungsi kawasan Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan hasil hutan Pengelolaan kolaborasi dengan pemerintah dan para pihak 8. Terdapat usahausaha pemungutan tradisional hasil hutan. Peningkatan sarpras pengelolaan hasil hutan bagi masyarakat lokal Kerjasama penelitian untuk pengembangan IPTEK sistem pemungutan tradisional 9. Terdapat lahan tidak produktif pada setiap fungsi kawasan hutan Perlindungan areal-areal lahan kritis pada semua fungsi kawasan Melibatkan masyarat lokal dalam kegiatan KBR dan GN-RHL pada lahan kritis Mendorong investasi Hutan Tanaman Indutri dan hutan rakyat pada areal tidak produktif Kerjasama penelitian dan pengembangan pada areal-areal tidak produktif 93

108 Tabel 26. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Mengatasi Ancaman (Strategy S-T) Threaten (T) 1. Tumpang tindih 2. Wilayah kelola 3. Desakan untuk 4. Rendahnya kewenangan antar masyarakat Hukum penerapan REDD Pendidikan Dan sektor kehutanan dan Adat belum Plus, sertifikasi Taraf Hidup non kehutanan dilegitimasi dan usaha dan produk Masyarakat Sekitar Strength (S) belum ada peta tata sektor kehutanan Kawasan batas kawasan hutan Potensi hasil hutan Posisi KPHL sebagai Menginvetarisir potensi Mendorong Peningkatan kapasitas kayu, bukan kayu dan pengelola kawasan hutan wilayah dan pelaksanaan REDD masyarakat sekitar hasil hutan ikutan lain dapat memberikan peluang memberikan ruang Plus dan penjaminan hutan dalam relatif masih tinggi kepada pihak lain untuk kelola kepada legalitas kayu lokaldi pemanfaatan hasil berinvestasi dalam masyarakat hukum adat tingkat tapak hutan kawasan. 2. Organisasi KPH telah Terciptanya alur Membantu terbentuk dan memiliki kewenangan dan tanggung terlaksananya pemetaan kedudukan sejajar jawab tiap jenjang unit partisipatif wilayah adat dengan SKPD lain organisasi secara jelas dan mantap 3. Terdapat keindahan Kolaborasi kegiatan Pendampingan Meningkatkan bentang alam dan ekowisata dengan Dinas manajemen obyek pemahaman dan peninggalan budaya Pariwisata wisata unggulan penyadaran eksistensi yang unik kawasan bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitar 4. Komitmen pemerintah Memfasilitasi terbentuknya Mendukung upaya Menghasilkan regulasi Memberikan akses daerah relatif tinggi forum kolaborasi pemetaan partsipatif untuk memproteksi seluas-luasanya bagi untuk meningkatkan pengelolaan hutan masyarakat adat perusakan kawasan peserta didik untuk perekonomian dan hutan meningkatkan kualitas kesejahteraan pendidikan masyarakat melalui pembangunan bidang kehutanan 5.Kegiatan Pemanenan Secara illegal Kayu Menata sistem pemanenan hasil hutan berdasarkan kearifan lokal Pemberantasan kegiatan pemanenan kayu secara ilegal Peningkatan pemahaman dan penyadaran masyarakat sekitar terkait legalitas kayu Mendukung penelitian pengembangan berkaitan pengelolaan secara lestari upaya dan yang dengan hutan 94

109 5. Sistem pemukiman dan pemilikan ulayat menyebar secara komunal 6. Kepemimpinan adat dan hak masyarakat masih berlaku di beberapa wilayah distrik dan kampung 7. Sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup dari bertani, meramu dan berburu hasil hutan 8. Terdapat usaha-usaha pemungutan tradisional hasil hutan. Peningkatan pemahaman dan penyadaran masyarakat pemilik hak ulayat tentang kewenangan masing lembaga Mempertegas kewenangan pemerintah dalam pemungutan hasil hutan Mendorong partsipasi aktif masyarakat pemilik hak ulayat dalam pemetaan wilayah adat Peningkatan pemahaman pentinya pemetaan wilayah adat secara mandiri Meningkatkan produktifitas dan keberlanjutan ladang berpindah masyarakat Mendorong timbulnya value added pemungutan hasil hutan Menjamin kesinambungan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu Menjamin pengelolaan secara lestari sumberdaya hutan Peningkatan pemahaman dan penyadaran masyarakat sekitar terhadap peran ekosistem kawasan KPHL Peningkatan kapasitas pemimpinan adat Peningkatan pemberdayaan masyarakat berdasarkan lokal upaya potensi Peningkatan pendidikan informal bidang kehutanan Peningkatan pemahaman dan penyadaran masyarakat sekitar terhadap kelestarian hutan Memperketat aturanaturan adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara ilegal Mendorong masyarakat adat menghindari rent seeking behavior (perilaku mencari untung)dari stake holders kehutanan 95

110 Tabel 27. Strategi Mengurangi Kelemahan dan Mengatasi Ancaman (Strategy W-T) Threaten (T) Weakness (W) 1. Tumpang tindih kewenangan antar sektor kehutanan dan non kehutanan 2. Wilayah kelola masyarakat Hukum Adat belum dilegitimasi dan belum ada peta tata batas kawasan hutan 3. Desakan untuk penerapan REDD Plus, sertifikasi usaha dan produk sektor kehutanan 4. Rendahnya Pendidikan dan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Kawasan Peta Tata Ruang Pemetaan partsipatif Kehutanan dan wilayah adat batas kawasan sampai tahap hutan masyarakat registrasi batas adat belum ada wilayah adat (RBWA) 2. Kelembagaan Peningkatan kapasitas Peningkatan upaya Peningkatan Upaya KPHL Biak kelembagaaan penyadaran peran Pendampingan belum efektif dan efisien KPHL KPHL bagi kesejahteraan masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat 3. Sumberdaya KPHL (fasilitas dan sumberdaya manusia) masih terbatas 4. Data potensi hasil hutan kayu dan bukan kayu di setiap kawasan tersedia fungsi belum Pengembangan database potensi Sumberdaya alam dalam kawasan KPHL Pemetaan potensi sumberdaya alam berdasarkan kepemilikan hak ulayat Peningkatan kapasitas staf melalui pendidikan dan pelatihan Penyediaan sarana pra sarana yang meningkatkan pengembangan SDM Peningkatan kapasitas masyarakat adat melalui pendidikan dan pelatihan pemanfaatan sumberdaya hutan 5.Kegiatan Pemanenan Kayu Secara illegal Penegakan hukum secara menyuluh dalam wilayah KPHL 96

111 5. Regulasi pendukung bidang kehutanan terkait dengan perizinan, retribusi dan hak masyarakat adat belum tersedia pada setiap tataran pemerintahan 6. Pemungutan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat belum terorganisir 7. Kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan dan lahan sangat terbatas Mempercepat proses pembentukan regulasi secara komprehensif Mempermudah akses perizinan dan retribusi pemanfaatan hasil hutan Mendorong tersedianya regulasi yang mengatur pembagian manfaat secara adil dan merata pada masyarakat adat Meningkatkan kerjasama dengan pemerintah, swasta, NGO berdasarkan asas manfaat Mendorong pemerintah memberikan proteksi terhadap aktivitas illegal dari pihak luar Peningkatan penyadaran mengenai pengelolaan dan lahan upaya sistem hutan 8. Kerjasama lembaga masyarakat dan koordinasi program dengan instansi terkait belum mantap, masih sektoral Meningkatkan dukungan lembaga lain dalam mendukung pemetaan partsipatif Membentuk model pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak Membentuk pengamanan swakarsa kolaboratif model secara 97

112 Faktor Kunci Keberhasilan Faktor-faktor kunci keberhasilan (critical success factors) merupakan faktor penentu sangat penting dalam penetapan keberhasilan organisasi. Faktor keberhasilan ini ditetapkan dengan terlebih menganalisis faktor-faktor lingkungan baik internal maupun eksternal dengan pendekatan SWOT tersebut. Adapun faktor-faktor kunci keberhasilan dirumuskan sebagai berikut : a) Kapasitas kelembagaan KPHL Model Biak Numfor b) Potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya c) Regulasi yang berpihak pada masyarakat adat d) Sarana prasarana KPHL Model Biak Numfor yang memadai e) Dukungan pemerintah dan para pihak Proyeksi Keadaan KPHL Model Biak Numfor Pengelolaan kawasan diproyeksikan ke dalam kondisi atau keadaan yang diinginkan, yang ditempuh melalui proses berkelanjutan. Selanjutnya dituangkan dalam rencana pengelolaan hutan KPHL periode Hal ini menjadi arah dan acuan sekaligus menjadi gambaran kondisi yang diinginkan dalam pengelolaan 10 tahun ke depan. Diharapkan pengelolaan KPHL Biak Numfor memberikan manfaat maksimal terhadap kelestarian sumberdaya alam hayati dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya KPHL Biak Numfor saat ini, kondisi umum yang diinginkan adalah : 1. Kapasitas kelembagaan; Kapasitas kelembagaan kawasan KPHL Biak Numfor yang mantap adalah faktor yang paling dominan dalam pengelolaan yang optimal 2. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat dan atau Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dikelola secara arif dan bijaksana, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi 98

113 3. Terwujudnya kesadaran masyarakat berupa peran dan partisipanya dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA di KPHL Biak Numfor termasuk di dalamnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. 4. Terwujudnya pengelolaan kolaborasi KPHL Biak Numfor dengan melibatkan para pihak/stakeholders yang berkepentingan 5. Kawasan KPHL Biak Numfor yang memiliki daya saing tinggi sebagai pengembangan ekowisata, serta ilmu pengetahuan dan teknologi Dalam usaha mencapai kondisi yang diinginkan tersebut, perlu ditetapkan target selama 10 tahun ke depan yaitu : 1. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat Peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor ditempuh melalui penerapan teknologi tepat guna dan berhasil guna serta ramah lingkungan. Pola-pola pendekatan Agroforestry dan pemberdayaan nelayan pesisir yang aplikatif dan dapat diterima semua pihak 2. Sistem informasi dan database Tersedianya data dan informasi yang detail pada semua tapak (site) sebagai dasar sustainable management dan evaluasi model pengelolaan yang telah dilaksanakan 3. Pengelolaan Mandiri Dalam perkembangnnya, pengelolaan KPHL Biak Numfor mengarah pada pengelolaan yang mandiri dalam hal kebutuhan akan dana. Pengelolaan mandiri tidak berarti bahwa KPHL Biak Numfor akan mengelola kawasan tanpa adanya kolaborasi dengan pihak lain, tetapi tidak berarti bahwa dana pengelolaan tidak bergantung dari pembiayaan APBN dan mengusahakan sektor-sektor lain 4. Kelestarian Plasma Nutfah KPHL memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan merupakan keunikan dari kawasan ini. Potensi keanekaragaman hayati yang tinggi ini sangat penting bagi wilayah sekitarnya yang dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan dan pengembangan wilayah. Pembangunan dan pengembangan wilayah pada prinsipnya harus memperhatikan dan memelihara sistem 99

114 penyangga kehidupan melalui pengelolaan setiap fungsi kawasan konservasi serta setiap fungsi pokok dan fungsi penunjang dapat berjalan secara seimbang. 5. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Salah satu tolak ukur keberhasilam dalam pengelolaan kawasan KPHL Biak Numfor adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat baik di dalam atau sekitar kawasan. Peningkatan kesejahteraan akan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat secara efektif dan efisien melalui peningkatan ketrampilan dalam mengolah hasil hutan dan potensi wisata alam berbasis socio ecotorism. Berdasarkan analisis dan uraian sebelumnya, maka kriteria afektifitas pengelolaan KPHL Biak Numfor ke depan, ditinjau dari aspek ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial budaya antara lain sebagai berikut : 1. Ekologi (Lingkungan) a) Eksistensi kawasan KPHLBiak Numfor dipertahankan melalui koordinasi, sinkronisasi dan partisipatif dalam penataan ruang dan optimalisasi penatagunaan kawasan b) Keanekaragaman hayati tetap terpelihara dalam batas-batas resiliensi c) Pengelolaan KPHL Biak Numfor secara swadana dan kolaboratif. 2. Ekonomi a) Pendapatan rumah tangga yang bergantung pada sumberdaya hutan meningkat b) Pengusahaan pariwisata berbasis masyarakat (socio-ecotourismt) dapat terwujud dan lebih professional dalam kawasan KPHL Biak Numfor guna mendukung Visi Kabupaten Biak Numfor menjadi kota Pariwisata c) Kontribusi terhadap PNBP dan pendapatan daerah meningkat secara proporsional d) Aneka usaha pengolahan hasil hutan dan kerajinan skala kecil dan menengah dapat berjalan dan terjamin keberlanjutannya mulai dari bahan baku sampai pemasaran. e) KPHL Biak Numfor dalam waktu 10 tahun mendatang diharapkan mengelola kawasan hutan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan 100

115 Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) sehingga memungkinkan keberlanjutan/kelestarian pengelolaan hutan dilakukan secara mandiri. 3. Sosial Budaya a) Keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat di dalam dan sekitar kawasan diakui dengan ketentuan yang berlaku dan taraf hidupnya meningkat b) Partisipasi aktif masyarakat terus meningkat terhadap pengelolaan kawasan dengan kesadaran sendiri c) Kualitas kesejahteraan masyarakat (pendidikan, kesehatan, perumahan, lingkungan, kreatifitas karya seni, organisasi sosial, ekonomi dan politik) yang bergantung pada kawasan makin meningkat d) Manfaat keberadaan kawasan KPHL Biak Numfor terus meningkat dan terdistribusi secara adil dan merata terutama bagi masyarakat dengan ketergantungan tinggi terhadap kawasan. 101

116 Bab5 RENCANA KEGIATAN 5.1 Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola dan Penataan Hutan Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola Luas kawasan hutan yang dikelola oleh KPHL Model Biak Numfor berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 648/Menhut II/2010 tanggal 22 November 2010 seluas ± ha. Luasan dan komposisi fungsi kawasan selanjutnya mengalami perubahan sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 458 tanggal 15 Agustus Tahun 2012 Jo SK Menhut No 782 tahun 2012 tentang peta perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, Perubahan Fungsi kawasan hutan dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan di Provinsi Papua. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 458 /2012 tersebut maka terjadi perubahan luas, terutama pulau Biak dan pulau Numfor. Luas pulau numfor ,97 ha dan Pulau Biak seluas ,1 ha, atau sama dengan ,07 hektar. Dari luasan tersebut ,15 hektar merupakan kawasan hutan yang sebagian besar (66,49%) kawasan hutan didominasi oleh kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi 14,08% dan kawasan hutan produksi terbatas sebesar 19,43%. Rencana kegiatan inventarisasi berkala wilayah kelola dilaksanakan berdasarkan rencana strategis untuk melengkapi, merinci dan memperbaharui semua data dan informasi tentang potensi hasil hutan yang terdapat dalam wilayah kerja KPHL Biak Numfor. Kegiatan inventarisasi hutan yang akan dilaksanakan terdiri atas inventarisasi biogeofisik dan inventarisasi sosial, ekonomi dan budaya. Pelaksanaan rencana inventarisasi berkala akan dimulai secara bertahap pada masing-masing wilayah Resort Pengelolaan Hutan (RPH) yang terbagi atas 6 (enam) wilayah RPH selama 10 (sepuluh) tahun berjalan, sasarannya pada 102

117 masing-masing blok kerja disesuaikan dengan fungsi blok yang terdapat dalam wilayah RPH. Rencana kegiatan inventarisasi hutan berkala wilayah kelola 10 (sepuluh) tahun KPHL Biak Numfor diarahkan pada pelaksanaan program dan kegiatan seperti Tabel 28. Tabel 28. Rencana Program, Kegiatan, Lokasi dan Target Pencapaian No Program Kegiatan Lokasi Luas (ha) Target 5 Tahunan Inventarisasi Biogeofisik Inventarisasi Potensi Hasil Hutan Kayu Blok Pemanfaatan HHK- HA/HT Ha Ha Inventarisasi Potensi Jasling dan HHBK Blok Pemanfaatan kawasan, HHBK & Jasling , Ha Ha Inventarisasi Biofisik Kawasan Inventarisasi Potensi Jasling, HHBK dan Pemanfaatan Kawasan Blok Perlindungan Blok Pemanfaatan , , Inventarisasi Sosial, Ekonomi dan Budaya Identifikasi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan hutan Kampung/Desa di dalam atau di sekitar kawasan hutan - 50% jumlah kampung di dalam kawasan hutan terdata 100 % kampung di dalam kawasan hutan terdata Penataan Hutan Rencana Penataan Hutan dilaksanakan berdasarkan hasil inventarisasi hutan yang menghasilkan peta, data dan informasi potensi wilayah kelola KPHL Biak Numfor dengan memperhatikan karakteristik biofisik lapangan, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, potensi sumberdaya alam, dan keberadaan izin-izin 103

118 usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan dengan mempertimbangkan peta arahan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)/Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP)/ Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK) dan fungsi kawasan hutan di wilayah KPHL Biak Numfor. Rencana penataan hutan seperti Tabel 29. Tabel 29. Rencana Penataan Hutan No Program Kegiatan Lokasi 1. Penataan Batas Blok KPH 2. Penataan Batas Hak Ulayat Masyarakat Pengukuran dan Penataan Batas Pengukuran dan Penataan Batas RPH Das Andoi 2 dan RPH Napi Dasandoi RPH Napi Dasandoi dan RPH Wari Panjang Target 5 Tahunan Trayek (km) km 100 km 100 km 500 km 250 km 250 km 5.2 Pemanfaatan Wilayah Tertentu Kawasan pemanfaatan wilayah tertentu tersebut terdiri dari kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Kawasan hutan lindung mempunyai luas ,30 ha dengan perincian blok pemanfaatan kawasan seluas 4.210,7 ha, dan blok pemanfaatan jasa lingkungan/pemungutan hasil hutan bukan kayu seluas ,66 ha. Sedangkan kawasan hutan produksi dengan luas ,68 ha terbagi atas blok pemanfaatan kawasan/pemanfaatan jasa lingkungan seluas ,56 ha dan blok pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu/pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu seluas ,12 ha. Pemanfaatan hutan di wilayah tertentu rencana pengelolaannya dilakukan dalam dua tahap. Setiap tahap terdiri dari 5 tahun. 3 tahun I diprioritaskan untuk pengembangan kelas perusahaan komoditi tanaman kehutanan, pengembangan jasa lingkungan dan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Skema yang dikembangkan berupa kemitraan (masyarakat perorangan, 104

119 koperasi dan investor). Pola kemitraan masyarakat yang dilakukan dikenal dengan nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Hukum Adat. Sesuai dengan pasal 6 dan pasal 7 Permenhut No 47 Tahun 2013 tentang pedoman, kriteria dan standar pemanfaatan wilayah tertentu pada KPHL dan KPHP, menyatakan bahwa penyelenggaraan pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada kawasan hutan lindung meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada hutan lindung untuk pengelolaan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 31. Sedangkan pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada hutan produksi meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Program dan kegiatan pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada kawasan hutan produksi untuk pengelolaan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu No Program dan Lokasi Target 5 Tahunan Kegiatan I HHBK HL HP HPt HL HP HPt Budidaya tanaman RPH Pemeliha Pemelih penghasil gaharu Dasandoi II raan araan dan RPH Wari 2. Budidaya Agathis 3 RPH : Napi Dasandoi, Pemeli haraan Pemeliha raan Pemelih araan Wari dan Dasandoi II 3. Budidaya Lebah 2 RPH 2 KTH - 1 KHT Pembi - Pembin Madu naan aan 4. Budidaya Bambu RPH Dasandoi I 20 Ha 20 Ha 20 Ha 20 Ha 20 Ha 10 Ha 5. Budidaya Kayu RPH Ha - 50 Ha 100 Ha Putih Dasandoi II Ha dan RPH Wari 6. Budidaya Masohi RPH Wari - 25 Ha 20 Ha - Pemeliha Pemelih dan lawang dan Dasandoi raan araan I II HHK Lokasi HL HP HPT HL HP HPT 1. Pemanenan HHK 6 RPH pada Hutan Alam Ha Ha Ha Ha 2. Pengembangan Kelas Perusahaan - Jati

120 No Program dan Lokasi Target 5 Tahunan Kegiatan I HHBK HL HP HPt HL HP HPt - Agathis - Tanaman Endemik Papua Tanaman Bio energi III JASA Lokasi HL HP HPT HL HP HPT LINGKUNGAN 1. Pemanfaatan RPH Napi 1 unit Aliran Air : Dasandoi dan - Air Terjun RPH Wari 1 unit Wapsdori - Air Terjun Wafsarak 2. Ekowisata : - Telaga Oprsnondi RPH Oridek 1 lokasi Air Terjun Wapsdori RPH Napa 2 lokasi - Air Terjun Wafsarak 3. REDD+ 3 RPH : RPH Dasandoi II, Napi Dasandoi dan Dasandoi I 50 Ha 50 Ha 50 Ha 150 Ha 100 Ha 100 Ha 5.3 Pemberdayaan Masyarakat Secara spasial wilayah kelola KPHL Biak Numfor berada dalam wilayah yang banyak terdapat aktifitas-aktifitas masyarakat yang berdiam di dalam atau sekitar kawasan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat atau akses terhadap hutan sangat tinggi. Oleh karena itu, mekanisme yang perlu dibangun adalah dengan pola kemitraan yang akan memberdayakan masyarakat Tujuan pemberdayaan masyarakat selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan juga merupakan salah satu solusi yang tepat untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang mengklaim hutan dan lahan sebagai hak milik (hak ulayat). Rincian mengenai target pemberdayaan masyarakat dapat dilihat pada Tabel

121 Tabel 31. Pemberdayaan Masyarakat No Kegiatan Lokasi Target 5 Tahunan 1 Ekowisata Blok Pemanfaatan Jasling & HHBK 2 Pembentukan Kelembagaan Masyarakat Koperasi) (KTH, 3 Fasilitasi regulasi (Peraturan Kampung/Marga) 4 Peningkatan kapasitas masyarakat Blok Pemberdayaan Masyarakat Blok Pemberdayaan Masyarakat KTH yang terbentuk Bertambahnya 2 (dua) lokasi ekowisata alam Pembinaan dan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan dan SDM Terbangunnya 1 (satu) lokasi ekowisata alam Terbentuknya 50 Kelompok Tani Hutan (KTH), dan 1 Koperasi Masyarakat Terbentuknya peraturan kampung pengelolaan hasil hutan kayu/hhbk pada 5 lokasi Terbentuknya peraturan kampung pengelolaan hasil hutan kayu/hhbk pada 5 lokasi 50 KTH 50 KTH 5 Pamswakarsa 6 RPH 60 orang 60 orang 6 Agroforestry/ Silvopastura Seluruh Blok kecuali Blok Perlindungan & Blok Inti Terlaksananya pola agroforestry dan Silvopastura pada 50 KTH Bertambahnya 50 KTH yang menerapkan pola pengelolaan Agroforestry/ Silvopastura 5.4 Pembinaan, Pemantauan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pada Areal yang Berizin Pembinaan dan pemantauan pada areal yang telah ada izin pemanfaatan maupun penggunaan kawasan di KPHL Biak Numfor untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun mendatang dapat dilihat pada Tabel

122 Tabel 32. Pembinaan dan Pemantauan pada areal yang dibebani izin No Pembinaan Pemantauan Periode Lokasi 1 Pembinaan dibidang teknis kehutanan meliputi: produksi (kelestarian hasil) dan rehabilitasi (kelestarian hutan/lingkungan) 2 Pembinaan dibidang perijinan dan regulasi (penegakan hukum) 3 Sosialisasi dan penyuluhan tentang model pengelolaan hutan lestari pada kawasan hutan Kinerja berdasarkan hasil pembinaan Kinerja berdasarkan hasil pembinaan Monitoring dan evaluasi 2 kali setahun Kopermas Sup Masi di RPH Dasandoi II 2 kali setahun Kopermas Sup Masi di RPH Dasandoi II 2 kali setahun Kopermas Sup Masi di RPH Dasandoi II 5.5 Rehabilitasi Pada Areal Kerja di Luar Izin Luas lahan kritis di dalam kawasan hutan KPHL Biak Numfor berdasarkan data spasial lahan kritis yang dikeluarkan BPDAS Memberamo tahun 2013 sebesar ,02 ha, dengan perincian potensi kritis 2.792,92 ha, agak kritis ,14 ha, kritis ,18 ha dan sangat kritis 5.135,77 ha. Rencana penyelenggaraan rehabilitasi pada areal kerja di luar ijin di KPHL Biak untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun mendatang dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Target Pencapaian Rehabilitasi pada Areal Kerja di Luar Izin No Program Kegiatan Lokasi Target Pencapaian Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rehabilitasi untuk tujuan komersiil 6 RPH 2000 ha 2000 ha Rehabilitasi untuk tujuan konservasi atau Restotasi Lahan Kritis pada Blok inti 1000 ha 1000 ha 108

123 Ekosistem dan blok perlindungan Di 6 RPH 5.6 Pembinaan dan Pemantauan Rehabilitasi dan Reklamasi di dalam Areal yang Berizin Kegiatan yang dilakukan adalah: Pembinaan dibidang teknis kehutanan berupa sistem silvikultur TPTI dan IHMB yang digunakan Pembinaan dibidang rehabilitasi hutan dan lahan secara umum Penegakan aturan dibidang rehabilitasi Identifikasi kinerja pelaksanaan rehabilitasi terkait dengan bidang teknis kehutanan Evaluasi penerapan sistem silvikultur yang digunakan 5.7 Rencana Penyelenggaraan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Rencana penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam di KPHL Biak Numfor untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun mendatang dapat di lihat pada Tabel 34. Tabel 34. Rencana Penyelenggaraan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No Pembinaan Lokasi Target 5 Tahunan 1 Deliniasi areal perlindungan setempat 2 Upaya perlindungan dan pengawetan flora fauna yang kategori terlindungi 3 Upaya konservasi insitu dan eks-situ Blok inti dan blok perlindungan Blok inti dan blok perlindungan Blok inti dan blok perlindungan % luasan dari masing-masing blok terdeliniasi 100 % luasan dari masing-masing blok terdeliniasi Tersedianya sarana Bertambahnya dan prasarana sarana dan prasarana penunjang patroli penunjang patroli pengamanan hutan pengamanan hutan Terbangunnya unit- unit konservasi in-situ berupa arboretum, demplot dll Bertambahnya unitunit konservasi insitu berupa arboretum, demplot dll 109

124 4 Patroli pengamanan hutan 5 Pemberantsan Hama dan Penyakit Semua kawasan hutan Semua kawasan hutan 5.8 Rencana Penyelenggaraan Koordinasi dan Sinkronisasi Antar Pemegang Izin Rencana penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang izin di KPHL Biak Numfor untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun mendatang dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Rencana penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang izin di KPHL Biak Numfor No Metode Frekuensi Tindak lanjut 1 Identifikasi permasalahan perijinan Sekali setahun Menyusulkan ijin jika terdapat masalah 2 Mendesain RKU Pemegangan Izin agar mengacu pada RPHJ Panjang/Pendek KPHLBiak 5 tahun sekali Tidak memberikan ijin jika RKU belum singkron dengan RPJP 3 Menganalisa kinerja pemegang ijin 5 tahun sekali Pemberian sanksi 5.9 Koordinasi / Konsultasi dengan Instansi dan Stakeholder terkait Koordinasi dan sinergi dengan instansi dan stakeholder terkait dapat dijabarkan seperti Tabel di bawah: Tabel 36. Koordinasi/Konsultasi dengan instansi dan stakeholder terkait Para Pihak (Stakeholders) Konsultasi (Consult) Lokasi Bupati Biak Numfor DPRD Kabupaten Biak Numfor Kegiatan-kegiatan yang perlu diatur Peraturan Bupati Pembentukan BLUD Kegiatan yang perlu mendapat pembiayaan dari RAPBD Kegiatan-kegiatan yang perlu diatur melalui Perda Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor 110 Target Pencapa ian Setiap Tahun Setiap Tahun

125 Pembentukan BLUD Bappeda Kabupaten Rencana usulan anggaran kegiatan (RAPBD) DAU dan DAK beserta sumber-sumber lain (Propinsi, Pusat, dan Internasional) Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Sebagian fungsi dan peran Dishut dialihkan ke KPHL Biak Numfor Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Peraturan Bupati untuk ijin pemungutan Hutan Hak Ulayat Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Setiap Tahun Setiap Tahun Dinas Peternakan Pertanian dan Tanaman Pangan Dinas Kelautan dan Perikanan Badan Lingkungan Hidup Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Dinas Pendidikan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Kegiatan-kegiatan yang dapat diintegrasikan di lapangan Kemungkinan usaha Agrosilvopastory (Perkebunan, Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan) di Numfor Kegiatan untuk Masyarakat Adat Biak yang sebagian besar memiliki mata pencaharian nelayan dan petani Agrofishery (Kehutanan dan Perikanan) Kegiatan-kegiatan yang perlu dikoordinasikan oleh BLH Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat kampung Cara kerjasama dalam pendampingan masyarakat kampung oleh tenaga / sarjana pendamping Kebutuhan PNS untuk KPHL Biak Jabatan-jabatan Struktural dan Fungsional Pengembangan kapasitas staf KPHL Biak Numfor Pendidikan Sekolah Hijau bagi Sekolah PAUD sampai dengan lanjutan (SMU) Lokasi-lokasi yang dimungkinkan untuk usaha jasa lingkungan Promosi pariswisata alam dan budaya masyarakat sekitar hutan Bentuk-bentuk usaha individu dan kelompok masyarakat di kampung- Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun 111

126 Menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Distrik dan Kampung kampung sekitar hutan untuk dikondisikan dan diadaptasikan menjadi usaha bersama dalam badan hukum usaha Koperasi Usaha-usaha Industri hasil hutan kayu lanjutan dan hasil hutan bukan kayu Usaha-usaha masyarakat yang terkait dengan hasil hutan dan kebun Wilayah masyarakat adat / marga Pemetaan partisipatif wilayah adat dalam kampung dan distrik Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Setiap Tahun Setiap Tahun Dishut Provinsi Papua Taman Burung Taman Anggrek BPKH Jayapura BPDAS Membramo BKSDA Papua BP2HP Jayapura Balai Litbanghut Manokwari Balai Diklathut (BDK) Manokwari Kegiatan-kegiatan yang perlu dikoordinasikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua Jenis Burung dan Anggrek yang dapat dijadikan koleksi Taman Burung dan Anggrek Rencana Pelaksanaan Penataan Hutan dan Inventarisasi Potensi Rencana dan kegiatan untuk RHL dan pemilihan lokasi RHL dan KBR Rencana pengamanan hutan di wilayah-wilayah kawasan konservasi Jenis-jenis flora dan fauna yang perlu dilindungi dalam kawasan KPHL Biak Numfor Peraturan Bupati yang mengatur pemanfaatan kayu untuk kebutuhan lokal dari Hutan Ulayat Jenis-jenis Diklat Ganis dan Wasganis Masalah-masalah sosial / hak ulayat, kesuburan tanah, dan jenis-jenis tanaman unggulan lokal (kayu dan non kayu) Jenis Diklat yang menjadi prioritas dan Bentuk pelaksanaan Diklat Kota Jayapura Kab. Biak Numfor Kota Jayapura (Provinsi Papua) Kota Jayapura (Provinsi Papua) Kota Jayapura (Provinsi Papua) Kota Jayapura (Provinsi Papua) Kota Manokwari (Provinsi Papua Barat) Kota Manokwari (Provinsi Papua Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun 112

127 Universitas Papua Negeri (UNIPA) Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) Wilayah Papua dan Papua Barat SKMA / SMK Kehutanan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kebutuhan kualifikasi yang profesional dan kompeten yang diperlukan dalam pengelolaan KPH Kurikulum dan Silabus serta bentuk praktek lapangan di KPH Wilayah Kawasan Lindung Sumber-sumber mata air dalam wilayah KPH Kebutuhan Tenaga Teknis Kehutanan di KPH Lokasi-lokasi yang dimungkinkan untuk dapat dijadikan sebagai tempat praktek siswa SKMA / SMK Kehutanan Rencana pelaksanaan tata batas kawasan hutan Rencana identifikasi dan pemetaan Hak Ulayat dalam kawasan hutan Penertiban sertifikat tanah atau wilayah adat dalam kawasan hutan Polres Biak Numfor Rencana pengamanan hutan Dewan Masyarakat Adat Byak Masyarakat Adat LSM Rumsram LSM The Samdhana Institute Pemetaan wilayah adat dan Hak Ulayat Perumusan Hukum Adat Pemetaan wilayah adat dan Hak Ulayat dalam kawasan hutan Usaha-usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan HHBK Kegiatan dalam rehabilitasi dan lahan Kegiatan-kegiatan yang bisa didanai dari lembaga-lembaga donor baik di dalam negeri maupun dari luar negeri Pemberdayaan masyarakat yang tinggal di dalam dan di luar kawasan hutan Diperlukan kerjasama yang terkoordinir dengan pihak pemerintah (KPHL) dan LSM yang terintegratif Pemetaan wilayah Hak Ulayat masyarakat adat Peraturan-peraturan pemerintah yang terkait dengan penyelarasan antara Undang-Undang Kehutanan dan Otsus Peraturan yang terkait dengan Barat) Kota Manokwari (Provinsi Papua Barat) Kota Jayapura (Provinsi Papua) Kota Manokwari (Provinsi Papua Barat) Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Kab. Biak Numfor Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun Setiap Tahun 113

128 kewenangan KKPH atas wilayah tertentu 5.10 Penyediaan dan Peningkatan Kapasitas SDM Kebutuhan tenaga struktural didasarkan pada formasi struktur organisasi. Kebutuhan fungsional seperti tenaga Polhut, PEH dan tenaga teknis kehutanan lainnya, kebutuhannya didasarkan pada luasan hutan yang dikelola dan kemampuan tenaga yang bersangkutan. Untuk tingkat tenaga polhut diasumsikan adalah Ha/orang. Peningkatan kualitas SDM yang ada di KPHL Biak Numfor melalui berbagai pelatihan dan pendidikan teknis tentang kehutanan. Rencana penyediaan dan peningkatan kapasitas SDM di kantor KPHL Biak Numfor untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun mendatang seperti pada Tabel 37. Tabel 37. Rencana penyediaan dan peningkatan kapasitas SDM PNS No Jabatan Kebutuhan Tersedia Kekurangan Keterangan (orang) (orang) (orang) 1 KKPH KBSTU Kasie P3KH 1-1 Telah Diusulkan ke Bupati 4 Kasie RLKH KRPH Staf Sie KBSTU - Akutansi (S1) - Kepegawaian (S1) - Tata Usaha (S1/SMA) 7 Staf Sie P3KH Staf Teknis - Kehutanan (S1) Target Pemenuhan s/d (orang) - Pertanian (S1) 8 Staf Sie RLKH - Kehutanan (S1)

129 - Pertanian (S1) RPH - Kehutanan (S1) - Semua Jurusan (S1) - Diploma Kehutanan (D3) - SMK Kehutanan Polisi Kehutanan PEH Penyuluh Kehutanan TOTAL Penyediaan SDM PNS tersebut apabila tidak segera terpenuhi, maka dapat diadakan melalui kontrak kerja. Kontrak kerja dapat dilakukan oleh Kementerian Kehutanan RI dan atau dilakukan oleh KPHL Biak Numfor berdasarkan kemampuan keuangan yang tersedia Penyediaan Pendanaan Selama jangka waktu pendanaan untuk semua kegiatan Pengelolaan Hutan APBN (Dekonsentrasi), DAK bidang kehutanan, DAU (pendamping DAK ), APBD Provinsi Papua, OTSUS, dan Sumber lain yang sah. Penggalian sumber pembiayaan dari sumber lain yang tidak mengikat sangat dimungkinkan, dengan menyampaikan program yang telah disusun sesuai dengan rencana pengelolaan jangka panjang kepada lembaga donor Pengembangan Data Base Mengembangkan system informasi wilayah kelola KPHL Biak Numfor yang cepat, akurat dan integratif dan didukung oleh perangkat system informasi dan data base berbasis web yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh stakeholders dengan database. Pengembangan database yang dilakukan berupa: Pembuatan Website KPHL Biak Numfor 115

130 Pembuatan Perangkat Sistem Informasi Teknologi Data Base KPHL Biak Numfor Pembuatan data base, sinkronisasi data dan pelaporan 5.13 Rasionalisasi Wilayah Kelola Rasionalisasi wilayah kelola KPHL Biak Numfor yang dilakukan pada 10 (sepuluh ) tahun mendatang adalah : Melalukan review tata batas kawasan hutan KPHL Biak Numfor dalam rangka sinkronisasi SK Menhut 458 dan 782 terhadap 648. Melakukan pemetaan-pemetaan tata batas hak ulayat/marga Melakukan konsolidasi dan sosialisasi status kawasan hutan KPH dengan ruang adat Review Rencana Pengelolaan Rencana pengelolaan minimal 5 (lima) tahun dapat dilakukan review untuk penyesuaian perubahan status kawasan hutan dan menyesuaikan dengan rencana. Kementerian Kehutanan, Provinsi Papua dan Kabupaten Biak Numfor Pengembangan Investasi Pengembangan investasi diarahkan kepada para pemegang ijin skala besar maupun skala kecil seperti IUPHHK-HTR dan pelaku ekonomi kehutanan lainnya skala UMKM Kegiatannya (1) Peningkatan iklim dan realisasi investasi, (2) Peningkatan promosi dan kerjasama investasi 5.16 Kelas Perusahaan Program dan kegiatan prioritas KPHL Biak Numfor terdiri dari 10 kelas perusahaan. Kelas kelas perusahaan tersebut terdiri dari kelas perusahaan tanaman bio energy, kelas perusahaan hasil hutan bukan kayu dan kelas 116

131 perusahaan kayu. Rincian data kelas perusahaab di KPHL Biak Numfor dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Data Kelas Perusahaan KPHL Biak Numfor Kelas Perusahaan Luas (ha) Kelas Perusahaan Tanaman Bioenergi ,94 Blok Inti ,5 Kelas Perusahaan Agathis 4.936,25 Kelas Perusahaan HHBK (Bambu) 402,31 Kelas Perusahaan HHBK (Kayu Lawang) 140,90 Kelas Perusahaan HHBK (Masohi) 559,40 Kelas Perusahaan HHBK (Tanaman Penghasil Gaharu) 3.107,55 Kelas Perusahaan Jati 1.053,80 Kelas Perusahaan Kayu Putih 541,87 Kelas Perusahaan Merbau 620,34 Kelas Perusahaan Rimba Campuran 9.284,25 Zona Perlindungan ,32 Jasa Lingkungan 6.181,87 Gambar 18 Peta Rencana Lokasi Kelas Perusahaan 117

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 9 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Keberadaan hutan yang tumbuh subur dan lestari merupakan keinginan semua pihak. Hutan mempunyai fungsi sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Kebutuhan

Lebih terperinci

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) COOPERATION

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG, 1 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR P.7/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016 TENTANG STANDAR OPERASIONALISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL ALOR PANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PEMBENTUKAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 6/Menhut-II/2009 TENTANG PEMBENTUKAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Disampaikan pada Acara Gelar Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 12 Mei 2014

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO P E T I K A N PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)

Lebih terperinci

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.811, 2015 KEMEN-LHK. Biaya Operasional. Kesatuan Pengelolaan Hutan. Fasilitasi. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.20/MenLHK-II/2015

Lebih terperinci

2016, No. -2- Kehutanan, diperlukan penyempurnaan Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam huruf b; d. bahwa berdasarkan pertimbangan se

2016, No. -2- Kehutanan, diperlukan penyempurnaan Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam huruf b; d. bahwa berdasarkan pertimbangan se BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 336, 2016 KEMEN-LHK. Pengelolaan Hutan. Rencana. Pengesahan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.64/MENLHK-SETJEN/2015

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BATULANTEH KABUPATEN SUMBAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1127, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Reklamasi Hutan. Areal Bencana. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 013 NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG FASILITASI BIAYA OPERASIONAL KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR V TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS KESATUAN

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 9PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.99/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2016 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2017

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

DIGANDAKAN DAN SEBARLUASKAN OLEH PUSAT KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN

DIGANDAKAN DAN SEBARLUASKAN OLEH PUSAT KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN DIGANDAKAN DAN SEBARLUASKAN OLEH PUSAT KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR : P.7/SETJEN/ROKUM/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar No.1442, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Inventasrisasi Potensi. Kawasan Suaka Alam. Kawasan Pelestarian Alam. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.81/Menhut-II/2014

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk terselenggaranya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI MODEL KOTAWARINGIN

Lebih terperinci

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

KELOLA KAWASAN AREAL PERHUTANAN SOSIAL Oleh : Edi Priyatno

KELOLA KAWASAN AREAL PERHUTANAN SOSIAL Oleh : Edi Priyatno KELOLA KAWASAN AREAL PERHUTANAN SOSIAL Oleh : Edi Priyatno I. PENDAHULUAN Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilaikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG TAHUN

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG TAHUN UPT. KPHL BALI TENGAH RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG TAHUN 2014-2023 UPT. KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) BALI TENGAH MATRIKS RENCANA KEGIATAN UPT.KPH BALI TIMUR 2013-2022 Denpasar,

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH (Memperkuat KPH dalam Pengelolaan Hutan Lestari untuk Pembangunan Nasional / daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. 7 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG RENCANA MAKRO PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 134, 2016 KEMENLH-KEHUTANAN. Dekonsentrasi. 34 Gubernur. Pelimpahan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/MenLHK-Setjen/20152015

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014 PERAN STRATEGIS KPH Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014 KONDISI KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP Model Mukomuko ditetapkan dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA KEMITRAAN PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. 13, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL UNIT XXV TAPANULI TENGAH SIBOLGA PERIODE

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL UNIT XXV TAPANULI TENGAH SIBOLGA PERIODE RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KPHL UNIT XXV TAPANULI TENGAH SIBOLGA PERIODE 2016-2025 i LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG (RPHJP) KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Jakarta, Juni 2012 KATA PENGANTAR Buku ini merupakan penerbitan lanjutan dari Buku Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun sebelumnya yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG TIM TERPADU DALAM RANGKA PENELITIAN PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA > MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.18/Menhut-II/2004 TENTANG KRITERIA HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIBERIKAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM

Lebih terperinci

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN HUTAN ACEH MENUJU PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DAN RENDAH EMISI VISI DAN MISI PEMERINTAH ACEH VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci